Oleh : Taufiqqurrahman, M.Si
Sijunjung (SUMBAR).GP- Pilkada merupakan ajang demokrasi limatahunan yang dilakukan di daerah. Meski sudah sering dilaksanakan, masih banyak masyarakat yang belum faham tentang regulasi pilkada, terutama terkait tentang calon tunggal.
Bagaimana aturannya jika pada pilkada di suatu daerah hanya ada satu pasangan calon? Ada yang beranggapan, jika ada calon tunggal maka secara otomatis dia menjadi pemenang dalam pilkada. Tentu ini persepsi yang keliru. Calon tunggal tidak otomatis ditetapkan sebagai pemenang. Ada mekanisme pemilihan yang harus dilakukan, yakni melawan kotak kosong.
Apa itu kotak kosong?
Apakah ada kotak suara yang disediakan di TPS untuk orang yang tidak memilih calon tunggal tersebut? Bukan.
Meski disebut kotak, tapi kotak kosong bukan bermakna kotak suara. Kotak kosong adalah sebuah kota/kolom di surat suara yang berdampingan dengan foto dan gambar pasangan calon Tunggal (Pasal 54C Poin 2 UU No. 10 Tahun 2016), sehingga pemilih tetap memiliki alternatif pilihan ketika berada di bilik suara.
Sepintas ketentuan calon tunggal melawan kotak kosong ini seperti mengada-ada. Ada yang berpendapat, kalau hanya cuma satu pasangan calon, untuk apa lagi ada pemilihan! Ditetapkan saja yang satu pasang itu menjadi calon terpilih. Kita gak perlu capek-capek ke TPS, gak perlu menghabiskan uang banyak untuk biaya pemilihan, dan gak perlu susah-susah membuat acara pemilihan yang rumit dan melelahkan.
Sederhananya memang demikian, tapi pemilu dan system demokrasi yang kita anut tidak mengakomodir hal itu. Pemilu yang kita sepakati sebagai mekanisme suksesi kepemimpinan dari tingkat pusat sampai daerah merupakan ajang kontestasi. Syarat kontestasi harus ada lebih dari satu pilihan. Kalau tidak ada pilihan, tentu tidak bisa disebut kontestasi.
Kalau hanya mengukuhkan satu pasang calon, itu namanya aklamasi. Pemilu tidak mengenal aklamasi. Aklamasi hanya ada dalam system permusyawaratan. Misalnya karena hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar, maka secara aklamasi satu pasang calon itu ditetapkan sebagai calon terpilih.
Dalam pemilu tidak bisa demikian. Karena masyarakat harus diberi kesempatan memilih, dan hakekat pemilu adalah memilih dari alternatif-alternatif yang ada. Jadi jika dalam pilkada di suatu daerah hanya ada satu pasang calon, maka kotak kosong adalah alternatif pilihan yang disediakan oleh undang-undang.
Fenomena calon tunggal dalam pilkada sebenarnya mulai muncul sejak pilkada tahun 2015, di mana ada indikasi oligarki politik dan penguasa daerah memanfaatkan celah hukum, membuat skenario calon tunggal dengan “memborong” dukungan dan membeli semua kursi di DPRD, sehingga tidak memberi ruang bagi calon lain untuk maju.
Hal ini biasanya dilakukan oleh calon petahana untuk tetap terpilih pada periode berikutnya. Pada pilkada tahun 2020 yang lalu, ada 25 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada melawan kotak kosong, dan terbanyak di Jawa Tengah.
Untuk pilkada 2024 ini angka calon melawan kotak kosong diperkirakan akan bertambah karena faktor menguatnya oligarki politik di daerah-daerah. Ini tentunya bukan berita baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Sejatinya pemilu adalah kontestasi orang dengan orang, ide dengan ide, dan gagasan dengan gagasan. Dalam demokrasi, pemilu tidak hanya menjadi proses perebutan kekuasaan, hanya untuk itu saja (an sich- red ) tapi juga proses pendewasaan masyarakat dan proses penguatan sosial dengan segala dinamikanya. Karena itu dalam setiap pemilu selalu ada sisi pencerdasan pemilih, sisi penguatan integritas bagi penyelenggara, dan sisi pendewasaan diri bagi kontestan yang sering kita bunyikan dengan bahasa “siap menang dan siap kalah”.
Namun dalam pemilu melawan kotak kosong dengan calon tunggal, tidak akan kita temukan hal seperti ini. Pemilu melawan kotak kosong menurut saya adalah sebuah ironi dalam demokrasi, dimana pada hakekatnya tidak ada kontestasi. Tidak ada orang yang beradu gagasan dengan orang. tidak ada perdebatan ide dengan ide. Tidak ada pendidikan keterampilan mental dalam menerima kekalahan ataupun mensikapi kemenangan.
Menurut saya melawan kotak kosong adalah sebuah “kekonyolan demokrasi”. Sejak ide melawan kotak kosong ini masuk dalam Undang-Undang Pilkada, saya mengira ini adalah sebuah dagelan. Entah dari mana ide melawan kotak kosong ini datangnya, saya yakin itu diluar demokrasi. Karena dalam demokrasi, pemilu pada hakekatnya adalah kontestasi orang dengan orang.
Praktek melawan kotak kosong ini memang sudah dilakukan dalam pemilihan-pemilihan kepala desa di Jawa jauh sebelum masa reformasi. Sebelum ada pilkada untuk memilih bupati dan gubernur, pilkades di jawa sudah berlangsung sengit dan ketat seperti pilkada sekarang ini.
Saya berkeyakinan besar ide melawan kotak kosong dalam Undang-Undang Pilkada diadopsi dari sana. Tapi satu hal yang lupa kita sadari, bahwa spirit melawan kotak kosong dalam pilkada tidak sejalan dengan spirit demokrasi.
Kalau kita mencermati praktek pemilihan kepala desa yang melawan kotak kosong, semangatnya adalah semangat perlawanan. Perlawanan massa terhadap hegemoni dan dominasi kekuasaan oleh seseorang atau oligarki. Mungkin juga oleh petahana yang berkuasa saat itu. Karena rakyat lemah dan tidak mampu melawan secara terang-terangan, maka memilih kotak kosong adalah cara melawan paling sunyi yang bisa dilakukan oleh masyarakat.
Pertanyaannya, dalam konteks demokrasi dan pilkada kita, what next? Jika kotak kosong menang, siapa yang punya legitimasi untuk menerima mandat kemenangannya? Disinilah ironi yang kedua.
Dalam Pasal 54D UU no. 10 tahun 2016 dijelaskan jika kotak kosong menang, maka pilkada diundur pada pilkada terdekat berikutnya, dan untuk sementara posisi pelaksana tugas (Plt) kepala daerah ditunjuk oleh institusi berwenang di atasnya (Mendagri).
Luar biasa! Coba bayangkan! Pilkada yang dipersiapkan dengan susah payah, menguras energi dan biaya yang tidak sedikit, kemudian berakhir dengan penunjukan Plt. Kepala Daerah sampai dilaksanakan pilkada berikutnya. Betapa mubazirnya pemilu kita. Bagaimana mungkin kita menyebut ini demokrasi, penggunaan uang negara puluhan milyar rupiah hanya untuk hasil yang tidak ada hasil!?
Kemudian secara sosial, praktek pilkada melawan kotak kosong tidak memberikan impact yang positif terhadap konstruksi sosial. Apapun hasilnya, kalau kotak kosong yang menang, maka dampak yang pasti adalah mempermalukan calon yang kalah. Inilah buah dari perlawanan diam yang dilakukan oleh Masyarakat kepada elit, berakhir dengan mempermalukan. Sebaliknya, jika calon yang menang, tidak ada sosok lawan yang akan dihormati sebagai lawan tanding, karena pada sebenarnya dia tidak mengalahkan siapa-siapa.
Adakah Solusinya?
Pertanyaan berikutnya, adakah solusi dari persoalan calon tunggal ini? Jawabannya ada, yakni perangkat pemilu yang sudah ada dalam Undang Undang. Ada satu instrumen pencalonan dalam pilkada, yakni calon perseorangan atau yang kita kenal dengan calon independen. Dimana proses pengajuan calon tidak melalui pintu partai politik, tapi melalui dukungan masyarakat yang tersebar di daerah tersebut dalam bentuk pengumpulan KTP dan tandatangan dukungan.
Spirit awal dibukanya pintu calon perseorangan dalam pilkada adalah sebagai kanal dan jalan keluar jika saluran partai politik mengalami kebuntuan karena dikooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu. Hanya saja, sebagai kanal alternatif, pintu calon perseorangan seperti didisain sedemikian rupa untuk tidak dapat digunakan. Dengan segala persyaratannya yang berat (dukungan KTP yang sampai 10% dari jumlah penduduk), saluran calon perseorangan seperti saluran yang sengaja disumbat. Dibuat untuk disumbat, dan pada akhirnya nyaris tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sebagai kanal terhadap kebuntuan dalam proses pencalonan lewat pintu parpol, mestinya pintu calon perseorangan ini bisa mengantisipasi persoalan calon tunggal, karena memang untuk inilah pintu calon perseorangan ini dibuat. Karena itu, sebagai rekomendasi, harus ada perbaikan terhadap Undang-Undang pilkada khususnya ketentuan mengenai calon perseorangan. Persyaratan calon perseorangan mestinya dipermudah dan didisain sebagai emergency exit jika terjadi kebuntuan pencalonan lewat jalur parpol.
Penulis adalah Dosen Agroindustri UNP Kampus Sijunjung.
#GP | Sijunjung | 20 Juli 2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar