Sengketa Pencalonan Irman Gusman, KPU Dianggap Mencoreng Penegakan Hukum
© JPNN.COM
Jakarta(DKI).GP- Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Busyra Azheri menilai Komisi Pemilihan Umum tak punya alasan untuk menyatakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terkait gugatan Irman Gusman tak bisa dilaksanakan atau non-executable.
Busyra mengungkap hal tersebut merespons sikap KPU yang konon ogah menjalankan putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan Irman soal sengketa pencalonan sebagai caleg DPD RI Pemilu 2024.
"KPU mencoreng penegakan hukum," ujar Busyra.
Ahli hukum kelahiran Agam, Sumatera Barat itu menjelaskan pada Pasal 13 PERMA No. 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara, yakni pada Ayat (5) menyatakan “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai dimaksud ayat (2) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Kemudian ayat (6) menyatakan KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud ayat (2) paling lama 3 (tiga) hari sejak diucapkan.
"Intinya, PTUN Jakarta menyatakan 'batal/tidak sah Keputusan KPU RI Nomor 1563 Tahun 2023 tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPD dalam Pemilu 2024 yang di dalamnya tidak terdapat nama Irman Gusman”. Kemudian PTUN Jakarta 'memerintahkan KPU menerbitkan keputusan baru yang isinya menetapkan Irman Gusman sebagai calon tetap DPD RI pada dapil Sumatera Barat untuk Pemilu 2024," kata Busyra.
Dia menjelaskan, kalau KPU menyatakan bahwa putusan PTUN Jakarta non-executable, maka itu merupakan suatu kesalahan besar.
"Sifatnya putusan PTUN Jakarta itu adalah condemnatoir, yaitu bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah," tutur Busyra.
"Dari putusan PTUN Jakarta itu jelas dan sangat eksplisit memerintahkan KPU untuk dimasukkan penggugat sebagai calon tetap DPD Sumatera Barat," imbuhnya.
Busyra membeberkan, PTUN Jakarta sebagai bagian dari institusi terakhir yang memutus bagaimana norma yang diputus MK dan MA itu harus diterjemahkan terhadap suatu kasus konkret dalam sengketa pencoretan nama Irman Gusman sebagai calon tetap DPD RI dapil Sumatera Barat.
"KPU sebagai penyelenggara pemilu harus tunduk pada putusan PTUN, karena PTUN adalah penafsir tunggal (the sole interpreter) dari norma perundang-undangan dalam menilai suatu keputusan. Jadi, tidak ada alasan bagi KPU untuk tidak melaksanakan putusan PTUN Jakarta itu," katanya.
Menurut Busyra, tidak dilaksanakannya suatu putusan PTUN oleh pejabat atau instansi pemerintah merupakan wujud perbuatan melawan hukum yang berimplikasi pada kerugian materiel dan morel bagi pihak yang gugatannya dikabulkan pengadilan.
"Maka pihak yang bersangkutan berhak mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait dengan ketidaktaatan pejabat/instansi melaksanakan suatu putusan PTUN itu sendiri," ujarnya.
Busyra memandang KPU seyogianya memberikan contoh bagaimana lembaga negara mentaati suatu putusan peradilan.
"Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan justru tindakan tersebut merupakan pelanggaran konstitusi itu sendiri," imbuhnya.
#GP | Sumber: jpnn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar