Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyatakan pihaknya sedang mebdalami dana kampanye dari tiap kubu pasangan capres-cawapres. (tribunnews.com)
© Disediakan oleh Wartakotalive.com
Jakarta(DKI).GP- Guna menarik simpati publik, banyak cara yang dilakukan pasangan capres-cawapres bersama timnya.
Salah satunya lewat dana kampanye. Semakin kecil, tentu semakin banyak simpati yang dituai.
Namun, semua itu harus dalam tahap wajar, sebab jika tak benar justru akan menuai cemooh, dan simpati pun pergi.
Pada Pilpres 2024 ini pasangan capres-cawapres lewat timnya sudah melaporkan besaran dana kampanye yang mereka miliki.
Dari tiga pasangan capres-cawapres yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, ternyata pasanan nomor urut 1 yang paling kecil.
Pasanan AMIN hanya memiliki dana kampanye Rp 1 miliar untuk menjalani 75 hari masa kampanye.
Dana kampanye yang sangat minim itu pun menuai sorotan tajam publik. Mereka anggap janggal.
Alhasil, cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, angkat bicara.
Baca juga: Ledakan Smelter di Morowali, Timnas AMIN : Salah Satu Dampak dari Hilirisasi yang Tak Inklusif
Menurut Cak Imin, pihaknya sempat ada rencana untuk menambah dana kampanye lewat urunan para simpatisan dan relawan.
Cak Imin mengatakan, rencana untuk menambah dana kampanye itu masih belum diputuskan.
"Karena Mas Anies kemarin malah lebih baik mereka (publik) tidak usah iuran, nanti malah pertanggungjawabannnya susah," kata Cak Imin kepada wartawan di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (24/12/2023) malam.
Cak Imin mengatakan dana warga tersebut lebih baik dikumpulkan dan dilakukan kampanye secara mandiri.
Saat datang ke suatu wilayah untuk berkampanye, maka orang-orang yang menyelenggarakan mencari donasi di lingkungan tersebut.
"Menurut Mas Anies, lebih bagus, lebih mudah daripada kenclengan, nanti dapat besar nanti laporannya bagaimana dan seterusnya," katanya.
Cak Imin berharap partai koalisi pengusungnya, baik itu NasDem dan PKS bisa melakukan swadaya dari para anggotanya untuk dana kampanye.
"Kayak PKB ini kan terus meminta kepada seluruh pengurus, eksekutif legislatif untuk berpartisipasi," pungkasnya.
Sebelumnya, KPU telah merilis dana awal kampanye peserta Pilpres 2024.
Dari ketiga paslon yang berkontestasi, pasangan AMIN tercatat memiliki dana awal kampanye paling kecil.
Jumlah dana awal kampanye pasangan calon itu tercatat hanya sebesar Rp 1 miliar dan bersumber dari paslon dengan bentuk uang.
Pasangan AMIN:
Sumbangan uang dari paslon: Rp1 miliar
Jumlah total dana awal kampanye: Rp1 miliar
Pasangan Prabowo-Gibran:
Sumbangan uang dari paslon: Rp2 miliar
Sumbangan barang dan jasa sebesar dari partai politik atau gabungan partai politik senilai Rp29,4 miliar
Jumlah total dana kampanye: Rp31.438.800.000
Pasangan Ganjar-Mahfud:
Sumbangan uang dari paslon: Rp100 juta.
Sumbangan uang dari parpol atau gabungan parpol:Rp2 miliar 950 juta.
Sumbangan uang dari pihak lain atau perseorangan: Rp1 juta 670 ribu.
Sumbangan uang dari pihak lain perusahaan dan atau badan usaha non pemerintah: Rp20 miliar 324 juta.
Jumlah total awal dana kampanye: Rp 23.375.920.999
Akibat dana kampanye yang minim ini, pasangan AMIN pun dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena dianggap tak transparan soal dana kampanye.
Laporan ke Bawaslu dilayangkan kumpulan advokat dari Lingkar Nusantara (Lisan).
Ketua LISAN Hendarsam Marantoko mengatakan, pelaporan ke Bawaslu dilakukan pada Jumat (22/12/2023).
“Ketika pasangan AMIN hanya mencantumkan dana awal kampanye hanya Rp1 miliar itu sangat janggal,” kata Hendarsam, Minggu (24/12/2023).
Dia menilai, angka itu tidak realistis jika dilihat dari aktivitas kampanye pasangan AMIN.
Jika dihitung dari biaya pesawat jet pribadi dan sewa kantor tim sukses di area Menteng saja, sudah memakan biaya yang cukup tinggi.
“Bila kita coba hitung secara kasar, biaya sewa kantor mewah di area elit, pesawat jet pribadi untuk kegiatan kampanye ke 38 provinsi, serta baliho, apa mungkin cukup dengan hanya Rp 1 miliar?” ucapnya.
Hendarsam menduga, pasangan AMIN memanipulasi data dana awal kampanye.
Hendarsam juga berkaca dari pengalaman Pilgub DKI 2017.
Saat itu, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana lebih dari Rp 50 miliar.
“Sulit dipahami bila dana kampanye untuk tingkat gubernur provinsi jauh lebih tinggi dari kontestasi tertinggi di Indonesia, yaitu pemilihan presiden dan wakilnya,” ucapnya.
Menurut Hendarsam, tidak elok jika pasangan AMIN memanipulasi dana awal kampanye hanya untuk kepentingan pencitraan.
“Kalau dari awal saja sudah tidak transparan, bagaimana nanti ketika sudah menjabat sebagai presiden. Mari kita cermati sama-sama, agar bangsa ini kelak akan dipimpin oleh seseorang yang berintegritas tinggi dan tidak manipulatif terhadap bangsanya sendiri,” tandas Hendarsam.
Pembiayaan kampanye pemilihan umum (Pemilu) 2024 diprediksi masih menghadapi masalah klasik, berkaitan dengan dana-dana gelap yang mengucur tanpa tercatat sebagai dana kampanye resmi.
Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mewajibkan seluruh peserta pemilu membuat Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) sebagai wadah khusus pembiayaan kampanye.
Terdapat indikasi awal bahwa jumlah yang dilaporkan secara resmi ke KPU tidak sebanding dengan gelontoran duit yang sudah beredar untuk kampanye.
Pakar menilai bahwa sistem pemilu di Indonesia memang tidak mendukung tata kelola dana kampanye yang bertanggung jawab.
Pemantauan ongkos iklan politik seluruh pasangan capres-cawapres hanya pada platform media sosial berbasis Meta saja sudah jauh lebih besar dibandingkan laporan pengeluaran dana kampanye yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Hal ini ditemukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan membandingkan laporan dana kampanye yang diunggah KPU RI dalam Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka) dengan data open source Meta Ad Library yang dapat diakses publik.
Pengamatan Perludem ini dilakukan pada periode 16 November hingga 25 Desember 2023 dengan memasukkan kata kunci seputar nama capres-cawapres ke Meta Ad Library.
Hasilnya, ditemukan 15 akun pengiklan yang mengampanyekan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan total pembiayaan sekitar Rp 444.345.531.
Capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tercatat dikampanyekan 33 akun di Meta dengan total pembiayaan hampir Rp 778.930.409.
Sementara itu, capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dikampanyekan oleh 87 akun pengiklan di Meta dengan ongkos Rp Rp 829.163.419.
Perludem mengungkapkan, mayoritas iklan politik itu bersumber dari akun pendukung atau relawan yang semestinya dikategorikan sebagai sumbangan dalam laporan dana kampanye yang diberikan ke KPU RI.
"Dalam hal ini, yang beriklan di dalam media sosial tersebut ternyata banyak juga akun-akun pendukung. Bukan akun pribadi masing-masing paslon, tapi akun pendukung," kata peneliti Perludem, Heroik Pratama, dalam rilis hasil penelitian mereka pada Rabu, 20 Desember 2023.
Namun demikian, dalam Sikadeka KPU RI yang memuat update berkala data bergerak soal pemasukan, sumbangan, dan pengeluaran dana kampanye capres-cawapres, tak satu pun pasangan calon melaporkan pengeluaran ratusan juta rupiah hasil sumbangan untuk kampanye di media sosial.
Di dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang diserahkan masing-masing kubu per 27 November 2023 ke KPU RI, pengeluaran untuk iklan dan kampanye juga nihil.
Padahal, baliho para capres-cawapres bertebaran di jalan dan iklan-iklan politik di platform Meta sudah bertebaran ketika itu.
PPATK cium kejanggalan
Pembiayaan kampanye di luar rekening resmi juga tercium dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait peningkatan transaksi mencurigakan jelang Pemilu 2024.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan bahwa indikasi transaksi mencurigakan muncul dari kejanggalan aktivitas RKDK yang cenderung tak bergerak.
Logikanya, dengan kegiatan kampanye yang semakin intens, arus transaksi di RKDK seharusnya "sibuk" karena uang yang tersimpan digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan.
Namun, pergerakan uang justru diduga terjadi pada rekening-rekening bendahara partai politik dengan nominal yang disebut lebih dari setengah triliun rupiah.
"Semua sudah kita lihat. Semua sudah diinformasikan ke KPU dan Bawaslu. Kita masih menunggu, ini kan kita bicara triliunan," kata Ivan di sela-sela acara Diseminasi PPATK, Jakarta pada 14 Desember 2023.
Jauh sebelum itu, pada Rapat Koordinasi Tahunan PPATK, 19 Januari 2023 lalu, Ivan telah mengungkit bahwa PPATK mengendus dugaan aliran dana jumbo hasil kejahatan lingkungan seperti tambang ilegal dan tindak pidana lain mengalir ke partai politik yang ditengarai untuk kepentingan elektoral.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono memaparkan, pada 2021, Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dalam kategori itu meningkat dari 60 LTKM bank menjadi 191 LTKM bank pada 2022.
Nominalnya juga membengkak signifikan, dari Rp 883,2 miliar pada 2021 tiba-tiba meroket ke angka Rp 3,8 triliun pada 2022.
Pada LTKM nonbank, uang hasil tindak pidana lingkungan hidup juga naik.
Pada 2021, tercatat 49 LTKM nonbank dengan nominal Rp 145,3 miliar.
Pada 2022, jumlahnya menjadi 160 LTKM non-bank dengan nominal Rp 184,3 miliar.
"Luar biasa terkait GFC (green financial crime) ini. Ada yang mencapai Rp 1 triliun (untuk) satu kasus dan itu alirannya ke mana, ada yang ke anggota parpol," ujar Danang kala itu.
Danang juga mengungkapkan, kejahatan lingkungan seperti itu, dengan aliran dana semacam ini, tidak dilakukan aktor independen.
"Ini bahwa sudah mulai dari sekarang persiapan dalam rangka 2024 itu sudah terjadi," katanya.
Namun, PPATK tak asal menduga aliran dana kejahatan lingkungan itu akan digunakan untuk pemilu.
Menurut PPATK, aliran dana dari kejahatan lingkungan untuk kepentingan pemilu bukan baru kali ini terendus, tetapi sudah terbukti lewat pengalaman-pengalaman sebelumnya dan dilihat bahwa ada kecenderungan yang sama saat ini.
#GP | Sumber: Wartakotalive.com | Google News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar