Pojok Ideforia:
Sijunjung (SUMBAR).GP- Kenapa pejabat publik kita tak punya budaya malu? Pertanyaan macam ini kembali muncul terutama setelah adanya kasus Ketua MK Anwar Usman.
Pertanyaannya, kenapa pejabat publik kita tidak mau mundur walau sudah terbukti cacat moral? Mungkin kita akan menganggap karena dia tidak punya malu. Kemudian balik lagi pertanyaannya, kenapa dia tidak punya malu?
Jawaban terhadap hal ini memang tidak sederhana, karena budaya malu di negara ini bukan hanya menjadi persoalan karakter individu, tapi juga karakter sosial. Kenapa demikian? Dalam analisis tindakan, Peter L. Berger dalam bukunya The Reconstruction Social of Reality menjelaskan ada proses eksternalisasi dan internalisasi dalam tindakan manusia.
Contoh, kalau ada orang yang mundur dari jabatan karena tersangkut perkara tertentu, masyarakat kita sering tidak menghargainya itu sebagai sikap kesartia dan bertanggungjawab, tapi malah sebaliknya, kita akan menilainya sebagai pemimpin yang lemah, tidak tahan terhadap tekanan, tidak tangguh dan lain lain.
Tidak satupun orang yang akan memuji sikapnya itu sebagai sikap sportif dan bertanggungjawab.
Bahkan kalau ada yang berani pasang badan, mengambil alih tanggungjawab orang lain, atau memikul kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya, dia akan dianggap sebagai komandan yang bodoh. Tidak lihai.
Namun sebaliknya, kalau ada pejabat publik yang mati-matian mempertahankan kekuasaannya, bisa berkelit dari jeratan hukum, bisa menghindar dari tanggungjawab, kemudian tetap berkuasa dengan cara apapun, dia akan dipuji sebagai orang yang lihai, apalagi kalau dia bisa menimpakan kesalahan yang dilakukan pada orang lain. Dia yang berbuat orang lain yang menerima akibat, maka orang macam ini akan dipuji sebagai orang yang hebat.
#GP | Sijunjung | 22 Desember 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar