Sijunjung (SUMBAR).GP- Berbicara tentang Institut Teknologi Bandung (ITB), barangkali tak ada diantara kita yang tak kenal dengan perguruan tinggi tersebut.
ITB telah banyak menghasilkan lulusan yang kelak menjadi tokoh nasional, mulai dari Ir. Soekarno, B. J. Habibie serta Djuanda hingga Ridwan Kamil.
Tahun ini, ITB yang berdiri semenjak 3 Juli 1920 menempati ranking ketiga sebagai Kampus Terbaik di Indonesia versi EduRank.
Dari laman itb.ac.id saat ini jumlah alumni ITB tercatat sebanyak 129.355 orang yang menyebar di berbagai penjuru negeri hingga manca negara.
Hari Sabtu tanggal 28 Oktober 2023, ITB melaksanakan wisuda pertama Tahun Akademik 2023/2024 berlokasi di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung.
Penulis berkesempatan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, riuh rendah suasana wisuda di kampus kebanggaan Tanah Air tersebut.
Berbeda dengan suasana wisuda pada kampus-kampus lainnya di Pulau Sumatera, tak terlihat studio-studio mini dadakan maupun tukang poto keliling yang menawarkan jasa "bakodak" kepada wisudawan di lokasi wisuda.
Untuk kebutuhan dokumentasi, mulai dari gerbang utama yang dipenuhi bunga Petrea Volubili, hingga gerbang belakang arah Jalan Taman Sari sepanjang 500 meter, dilakukan oleh mahasiswa yunior menggunakan kamera pro berbagai merk.
Fotografer melayani wisudawan secara bergerombol, mulai dua hingga delapan orang bersama pendamping wisuda mencari spot-spot menarik di sepanjang kampus hingga pintu masuk Sabuga untuk diabadikan.
Wisuda dielenggarakan bertepatan dengan 95 tahun Sumpah Pemuda, dilakukan melalui dua sesi. Sesi pertama yaitu pukul 08.00 hingga 10.30 Wib.
Berikut ditampilkan pidato Rektor ITB Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D saat wisuda.
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua.
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan disertai rasa bangga, saya sampaikan selamat kepada seluruh wisudawan Program Doktor, Program Magister, serta Program Sarjana dalam Prosesi Wisuda Pertama Institut Teknologi Bandung Tahun Akademik 2023/2024. Pada hari ini, Saudara mendapatkan sebuah gelar kesarjanaan yang baru dari ITB, sebagai bentuk pengakuan terhadap kompetensi yang telah berhasil Saudara raih. Dengan menyandang gelar baru tersebut, Saudara kini mengemban tanggung jawab baru yang lebih tinggi, untuk bisa berkiprah dan memberikan sumbangsih kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.
Istilah ‘sarjana,’ maknanya adalah ‘orang yang pandai’, atau ‘orang yang memiliki ilmu pengetahuan’. Jadi dengan menyandang gelar kesarjanaan yang baru, maknanya adalah Saudara telah meraih tingkat penguasaan pengetahuan (knowledge) atau ilmu (‘ilm) yang baru. Dengan capaian ini, diharapkan Saudara memiliki perilaku yang baru juga, yang semakin dipandu dan dibentuk oleh pengetahuan, yaitu ‘perilaku kesarjanaan.’ Jika suatu capaian dalam penguasaan pengetahuan kemudian diikuti dengan perilaku yang dipandu oleh pengetahuan tersebut, maka ini akan menghasilkan apa yang saya sebut sebagai ‘integritas kesarjanaan’. Dengan kata lain, integritas kesarjanaan adalah gelar kesarjanaan yang secara konsisten diikuti dengan perilaku kesarjanaan.
Para wisudawan yang saya banggakan. Bapak/Ibu hadirin yang saya hormati,
Pada kesempatan yang dipenuhi dengan rasa bangga dan bahagia ini, perkenankan saya untuk menyampaikan pandangan tentang pentingnya ‘integritas kesarjanaan.’ Saya mulai dengan mengajukan pertanyaan mendasar berikut ini: mengapa pengetahuan itu penting?
Pertanyaan-pertanyaan tentang ‘apa itu pengetahuan’, ‘bagaimana pengetahuan diraih’, dan ‘apa relevansi pengetahuan dalam kehidupan manusia’ biasanya dibahas dalam bidang Filsafat dan Etika. Secara singkat, pengetahuan akan mendekatkan seseorang pada realitas, atau kebenaran (truth). Sebagai contoh, pengetahuan alam (natural sciences) akan membuat seseorang menjadi kenal, paham dan dekat/akrab akan hukum-hukum yang mengatur alam semesta. Begitu juga, pengetahuan kemanusiaan/sosial (human/social sciences) akan membawa seseorang pada pemahaman dan kedekatan akan prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan sosial, dinamika masyarakat, serta peradaban manusia.
Jadi, dengan memiliki pengetahuan, seseorang akan menjadi kenal, paham dan dekat dengan realitas/kebenaran. Dia akan mampu menarik pelajaran atau hikmah dari hukum-hukum yang mengatur alam ataupun prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan manusia/masyarakat. Hal ini akan membentuk/mengubah cara pandang orang tersebut terhadap dunia dan kehidupan. Dan pada gilirannya, ini semua akan mempengaruhi cara dia menyikapi permasalahan dalam kehidupan. Dengan perkataan lain, pengetahuan akan ‘membuka jalan’ bagi seseorang untuk menuju pada kebijaksanaan (wisdom) dan perilaku yang bijaksana (virtue).
Meskipun begitu, kenyataan dalam kehidupan menunjukkan hal yang berbeda. Walaupun dunia pengetahuan sudah semakin maju, masih banyak krisis sosial dan permasalahan moral yang tidak kunjung bisa teratasi.
Dalam satu abad belakangan kita menyaksikan lompatan-lompatan kemajuan pengetahuan dan teknologi, yang telah menghasilkan industrialisasi ekonomi. Namun pada saat yang sama kesenjangan-kesenjangan ekonomi semakin meluas, dan telah terjadi kerusakan lingkungan dan ekosistem yang sulit dikendalikan. Di bidang teknologi digital, kehadiran Internet telah memungkinkan demokratisasi atas informasi. Perkembangan cellular phone, Artificial Intelligence dan digital platforms telah membuka ruang yang luas bagi para netizens untuk melakukan ekspresi diri, serta berbagi pengalaman dan informasi. Namun pada saat yang sama, kemajuan teknologi digital telah memicu praktik penyebaran hoax dan berbagai bentuk kepalsuan (falsehood), yang pada gilirannya menimbulkan ancaman bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi itu sendiri.
Kalau kita tengok kehidupan kita pada hari ini, salah satu permasalahan moral yang kita hadapi adalah meluasnya praktik korupsi, dalam berbagai bentuknya. Praktik korupsi adalah suatu tindak kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Dan yang memprihatinkan kita semua, banyak pelaku korupsi itu adalah pribadi-pribadi yang berpendidikan tinggi, yaitu para sarjana. Pertanyaannya, mengapa kemajuan dan penguasaan pengetahuan tidak bisa membebaskan manusia dari perbuatan yang bertentangan dengan moralitas?
Para wisudawan yang saya banggakan. Bapak/Ibu hadirin yang saya hormati,
Hubungan antara pengetahuan dan moralitas adalah hal yang tidak mudah untuk dianalisis, karena melibatkan banyak faktor. Pada kesempatan ini, ijinkan saya untuk menyoroti dua faktor, yaitu ignorance dan neglect.
Seorang filsuf Yunani, Plato, menegaskan bahwa ignorance adalah “the root and stem of all evil”. Ignorance maknanya adalah lack of knowledge. Lawan dari ignorant adalah knowledgeable. Lantas, bagaimana bisa seseorang yang menguasai pengetahuan, terlibat dalam perbuatan yang mengandung kejahatan? Hal ini mungkin terjadi, karena setiap orang memiliki partial ignorance. Misalnya, seorang pakar astronomi yang menguasai pengetahuan tentang benda-benda langit dan galaksi, mungkin saja dia ignorant dalam urusan anatomi tubuh. Begitu juga, seorang pakar hukum yang menguasai peradilan pidana, mungkin saja ignorant dalam urusan senyawa kimia. Dan banyak contoh lainnya.
Jadi, setiap orang, termasuk para pakar, memiliki partial ignorance. Dalam kondisi seperti ini, ketika kita melakukan upaya-upaya problem-solving dengan menyusun model matematika, rancangan kerekayasaan, rencana bisnis, ataupun rancangan kebijakan, selalu ada kemungkinan terabaikannya aspek-aspek tertentu, dikarenakan partial ignorance tersebut.
Pelanggaran moral bisa terjadi, jika partial ignorance ini diikuti dengan sikap neglect, atau pengabaian. Misalnya, kita mengabaikan kemungkinan-kemungkinan adanya dampak/konsekuensi yang tidak diinginkan dari perbuatan kita. Kita mengabaikan kemungkinan-kemungkinan itu karena tidak sadar akan partial ignorance, atau sekadar tidak peduli. Partial ignorance yang diikuti dengan sikap neglect ini membuka jalan bagi terjadinya praktik-praktik pelanggaran moral.
Ketika seseorang menyebarkan hoax, mungkin dia mendapatkan kesenangan karena berhasil ‘menggiring opini’ dan mendapatkan keuntungan. Tetapi dia tidak paham bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan kesalahpahaman, fitnah yang meluas, dan bahkan konflik. Dia tidak memahami dampak perbuatannya, atau tidak peduli.
Dalam kasus praktik korupsi, salah satu dampak langsung dari perbuatan korupsi adalah ‘memotong singkat’ (short-cutting) suatu proses. Akibatnya, proses tersebut berlangsung secara ‘tidak normal’. Misalnya, karena terjadi korupsi, kegiatan kerekayasaan dilakukan dengan memotong singkat bagian-bagian tertentu dari proses konstruksi. Atau juga, proses pengambilan keputusan publik dilakukan dengan memotong singkat elemen-elemen penting dari proses tersebut. Semua proses yang ‘tidak normal’ ini akan menghasilkan produk teknologi ataupun produk kebijakan publik yang cacat, berisiko tinggi, atau bahkan berpotensi mengalami kegagalan sistemik.
Jadi, perbuatan korupsi itu buruk, bukan karena sebatas pertimbangan ‘mengambil sesuatu yang bukan haknya’. Melainkan juga karena perbuatan itu menimbulkan kegagalan sistemik dan penderitaan banyak orang yang tidak bersalah. Bisa jadi seseorang terlibat dalam suatu praktik korupsi tidak paham betul akan dampak-dampak merusaknya. Atau orang tersebut paham, tetapi dia mengabaikan.
Segenap mahasiswa baru yang saya banggakan. Para hadirin yang saya hormati,
Kita semua percaya dan berharap, bahwa para sarjana dapat berperanan bukan saja sebagai ‘agent of knowledge’, melainkan juga sebagai ‘agent of morality’. Sebab, tanpa moralitas, penguasaan pengetahuan menjadi sesuatu yang kurang berguna bagi kehidupan. Atas dasar ini, penting bahwa seorang sarjana berupaya terus-menerus untuk mengembangkan dan memperkuat perilaku kesarjanaan, sehingga membentuk integritas kesarjanaan. Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan untuk tujuan ini. Pertama, kita perlu menyadari bahwa kita memiliki partial ignorance. Agar hal ini tidak menimbulkan dampak yang buruk, kita perlu selalu bersikap terbuka terhadap pengetahuan yang baru, terbuka untuk berdialog dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan ataupun pengalaman yang berbeda. Kita perlu menghargai keanekaragaman dalam bidang akademik, dan keanekaragaman dalam bidang profesi, termasuk menghargai orang awam (laypeople). Kedua, kita perlu senantiasa meningkatkan dan mengasah kepedulian kita. Kita perlu bisa mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi dari keputusan dan perbuatan kita, dan berkomitmen untuk mencegah terjadinya dampak yang tidak diinginkan dari perbuatan tersebut. Saya percaya bahwa kedua langkah tersebut akan membantu kita untuk memperkuat integritas kesarjanaan.
Menyongsong Indonesia Emas di tahun 2045, saya percaya bahwa para sarjana mengemban peranan yang kunci, apakah di bidang sosial, ekonomi dan inovasi, penegakan hukum, maupun ekologi. Kemajuan bangsa Indonesia membutuhkan kemajuan dan penguasaan pengetahuan para sarjana. Ini harapan kita bersama. Saya percaya harapan ini akan terwujud jika para sarjana semakin memiliki integritas kesarjanaan yang kuat.
Sekali lagi saya ucapkan selamat atas keberhasilan seluruh wisudawan. Saya sampaikan rasa terima kasih kepada para orang tua Saudara yang telah memercayakan putra-putrinya kepada kami guna menempuh pendidikan di ITB. Sebagai penutup, beberapa kutipan berikut ini dapat menjadi bahan renungan bersama,
“The most important human endeavour is the striving for morality in our actions.” (Albert Einstein, penerima Nobel bidang fisika)
“Seeking what is true is not seeking what is desirable.” (Albert Camus, penerima Nobel bidang Literatur)
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunia kepada kita dan seluruh bangsa Indonesia, sehingga kita dapat secara bersama-sama meraih kehidupan bersama yang lebih baik, kemajuan di berbagai bidang, serta martabat yang terpandang di masyarakat dunia. Aamiin.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bandung, 28 Oktober 2023
* Penulis adalah pemerhati soial, domisili di Sijunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar