Oleh : Nilam Cayo
Sijunjung (SUMBAR).GP- Dunia kembali terenyak.
Wajah Yasir yang tadinya berbinar, langsung muram.
Baru enam jam Hamas menyiarkan konferensi pers tentang kemerdekaan Palestina. Pasukan keledai itu sudah mengkhianati perjanjian gencatan senjata dengan menduduki kawasan Masjid Al-Aqsa.
“Dasar Munafik! Sampai kiamat pun mereka akan tetap mengkhianati kesepakatan yang dibuat,” geram Salamah, Ummu Yasir.
Dua puluh sembilan hari berteman desing peluru di angkasa. Ledakan dan kehancuran di mana-mana. Sungai-sungai darah membuat tanah para Nabi mencekam.
Bau anyir tak lagi membuat perut mereka mual. Tangis dan pekik ketakutan anak-anak yang berlarian di gang-gang kecil menuju terowongan, sudah menjadi pemandangan biasa bagi mereka yang terpilih hidup di sini. Ya, di tanah mulia yang tertulis dalam Al-Quran.
Dan, ketika Hamas menyerukan kemerdekaan malam tadi, wajah-wajah penuh syukur itu bersukacita. Tangis berganti tawa. “Allahu Akbar!” gema takbir membubung tinggi. Setinggi langit yang menaungi Al-Aqsa.
Pergantian menit demi menit yang dimuliakan untuk menghargai perjanjian, dinodai. Bala tentara Zionis mengambil paksa masjid dan menawan tempat ibadah itu, seperti anak gadis yang tak bisa dikunjungi oleh siapa saja.
Geraham Yasir beradu.
“Demi ranting zaitun. Demi darah para syuhada. Mereka harus menebus semuanya!”
Senjata yang baru saja diletakkan di sudut lemari bersama mushaf kecil pemberian Ismail, ayahnya yang tewas dua tahun lalu di jalur Gaza, disambar cepat.
“Yasir ....” Salamah ikut berdiri.
“Ibu tetap di rumah!”
“Tidak, Nak! Ibu akan ikut. Demi Al-Quds, demi ayahmu, dan demi darah para syuhada.”
“Tapi Ibu belum sembuh. Luka akibat ledakan kemarin masih basah. Aku mohon, ibu tetap tinggal. Doakan saja aku dan pejuang lainnya.” Yasir meraih tangan perempuan berjilbab hitam itu. Mencium lama kulit penuh bekas luka yang akan menjadi saksi kelak di hari pembalasan.
Bahwa tangan itu pernah melempar batu. Menembakkan peluru dari senapan laras panjang. Entah sudah berapa banyak Zionis yang mati di ujung pisau dapur yang selalu dia bawa. Salamah tersenyum arif, lalu menggeleng. Menandakan dia tidak akan tinggal di rumah.
“Ibu akan ikut. Berjalanlah di samping ibu. Seperti waktu dulu kita melintasi gang demi gang. Menyisir jalan-jalan sempit. Ibu rindu. Ibu ingin menjadi komandan kalian seperti dulu.” Senyum kerinduan itu terlihat nyata.
Melintas bayangan Ismail, suaminya. Wajah Ahmed, tawa Ayas dan dua putranya yang lain. Mereka yang sudah terlebih dahulu kembali pada pemilik kehidupan, setelah beberapa tahun yang lalu menemaninya melawan zionis.
Malam-malam penuh penderitaan datang bersama kebencian para musuh Allah yang ingin meluluh lantakkan bumi Palestina. Tak membuat semangat Salamah padam. Dalam jiwa terpatri kalimat, “Berjuang untuk Syahid. Syurga Allah menunggu!”
Keteguhan hati singa padang pasir itu nyata diperlihatkan. Ketajaman pedang Allah itu diasah dengan kalimat Takbir yang tak henti mengalir lirih di setiap helaan napas.
Keyakinan itu yang membunuh ketakutan setiap jiwa yang lahir di bumi Al-Quds. Karena kehidupan sesungguhnya, berawal dari kematian yang indah. Dan Allah menjanjikan surga untuk mereka yang berdiri di barisan depan penjaga agama-Nya.
“Mari, Nak! Kita jemput takdir.” Salamah menepuk pelan tangan anaknya.
Yasir tergagap.
Senyum mengembang di wajah tampannya.
Mereka menyeret langkah melewati reruntuhan gedung. Menyalangkan pandangan di tengah pekatnya debu bekas ledakan. Menajamkan telinga, karena musuh bisa datang dari lubang terkecil sekali pun.
“Rabb! Catat dan lihatlah. Aku tetaplah makhluk lemah yang tak berdaya tanpa kasih sayang dan kekuatan dari-Mu.”
Perempuan itu tak ubah singa yang memberi perlindungan pada putranya. Dada Yasir memanas, haru, bangga, bersatu jadi semangat menggelegak.
“Fateemah?”
Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun memegang ketapel, berdiri di reruntuhan rumahnya. Fatemah merupakan anak tetangga Salamah, orang tuanya tewas akibat ledakan roket Zionis yang jatuh di sisi tempat tidur mereka.
Gadis kecil itu tersenyum, lalu berlari pasti mendekati Salamah dan Yasir.
Perempuan penyayang itu berlutut. Mengembangkan tangan, memberi Fatemah pelukan hangat. Hanya sesaat.
“Aku ikut!”
Fatimah menahan langkah Salamah dengan mencengkeram gamis yang menutupi tubuh perempuan perkasa itu.
“Ke mana, wahai Fatemah?”
“Mencari jalan surga,” jawabnya tanpa keraguan.
“Kamu terlalu kecil, Fatemah.” Yasir mengingatkan.
“Di mata mereka mungkin aku anak kecil, tapi senyum dan keberanianku membuat mereka takut. Buktinya mereka tidak menungguku dewasa untuk dijadikan lawan seimbang.”
Fatemah membuat dada Salamah bergemuruh.
Tiada yang akan mampu menghalangi semangat yang tumbuh dari jiwa-jiwa perkasa seperti Fatemah. Keberanian yang membuat Zionis kalang kabut menahan lemparan batu dari ketapel yang dia pegang.
**
“Lepaskan dia! Ini tanah kami! Kalian yang harus pergi!” teriakan Salamah dan Fatemah menggema.
Seorang perempuan muda yang ditangkap Zionis tertawa lebar melihat kedatangan perempuan perkasa tersebut. Gadis itu berusaha melepaskan diri, tapi tenaganya terlalu lemah akibat pukulan yang bersarang di wajah dan tubuhnya.
“Kalian terlalu sombong!” Seorang tentara meremehkan.
“Kalian yang sombong! Jadi keledai tunggangan saja, sudah membuat kalian lupa pada Allah.” Salamah membalas keras.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Salamah membuat tentara itu meradang.
Tidak cukup dengan pukulan, tembakan peluru yang diarahkan membabi buta bersarang di tubuh keempat syuhada yang terlebih dahulu membunuh sebagian tentara, yang tadinya menangkap gadis Palestina bermata coklat tersebut.
Darah berceceran, membasahi bumi. Aroma anyir berganti bau kesturi. Perjuangan ini tidak akan pernah henti, sampai Palestina merdeka. Mati satu, tumbuh seribu. Dan esok pagi, akan datang lagi, Salamah, Fatemah dan Yasir lainnya. Mereka akan berjuang demi, “La Ilahailallah!”
#GP | Sijunjung | 2 November 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar