Sijunjung (SUMBAR)GP- Masih dari percakapan media ini dengan Dr.Pramono Dosen FIB Unand Padang ketika Seminar Pelestarian Warisan Budaya Kawasan Perkampungan Adat Sijunjung, di Hotel Bukit Gadang Muaro, Jumat(1/9) dari 3 surau dan khazanahnya, pertama Surau Calau, kini kita bahas Surau Simaung.
2. Surau Simaung
Seperti disebutkan Pramono, surau Simaung hanya berjarak kurang dari 7 km dari Surau Calau. Surau yang terletak di Jorong Tapian Diaro Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung ini dikembangkan oleh Syekh Malin Bayang (1863 – 1963). Ulama dengan julukan Ayek Surau Simaung ini juga pernah belajar di Surau Calau. Kealimannya membuat Syekh Malin Bayang pernah dianggap sebagai khalifah dari Surau Calau.
Informasi ini tertulis di dalam naskah Riwayat Hidup Syekh Calau sebagai berikut ini.
“Sepeninggal Jalaluddin, kemudian anak Jalaluddin, Ahmad Tuanku Labai, kemudian Bagindo Khatib Usman, kemudian Gaek Sijunjung, namanya Katab gelar Tuanku Malin Bayang Tuanku bawah Simauang sebagai murid dari Jalaluddin, kemudian Kali Adam sebagai perlihara surau cucu-cucu beliau”.
Di surau yang namanya diambil dari pohon simaung (Pangium edule) ini ditemukan 88 bundel naskah (20.914 halaman naskah) dengan kandungan isi lebih dari 200 teks Menurut A. Malin Bandaro Tuangku Mudo (pewaris dan tuangku Surau Simaung), 88 naskah itu merupakan peninggalan Syekh Malin Bayang. Naskah-naskah tersebut selama ini tersimpan di lemari dalam salah satu bangunan surau kecil di tengah-tengah dua surau besar. Ruangan yang minim ventilasi dan penyimpanan naskah yang bertumpuk dengan benda lain membuat naskah banyak yang rusak. Bahkan, ada dua naskah tebal yang sama sekali tidak dapat terbaca lagi karena kertasnya hancur.
Gambar 2. Bangunan tempat keberadaan koleksi naskah Surau Simaung
Untungnya, upaya penyelamatan isi naskah melalui digitalisasi sudah dilakukan. Pada 2019, pembersihan, pendeskripsian, dan pendigitalan naskah-naskah koleksi Surau Simaung dikerjakan. Kegiatan ini merupakan bagian dari misi yang dijalankan oleh program Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA).
Program ini dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, bekerja sama dengan Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC), University of Hamburg, Jerman, atas dukungan dari Arcadia Fund, lembaga filantropi asal London, Inggris, yang mendukung pelestarian warisan budaya, lingkungan, dan peradaban dunia.
Sama halnya dengan koleksi naskah di Surau Calau, khazanah naskah di Surau Simaung juga kaya dengan keragaman teks. Salah satu naskah yang cukup penting ditemukan di surau ini, seperti naskah Mîzân al-Qarb yang berisi empat bab;
Pertama, perhitungan tahun mulai dari perhitungan tahun dunia sejak zaman Nabi Adam, lahir Nabi Muhammad, dan hari kiamat.
Kedua, tentang pembagian tahun Syamsiah dan Kamariah.
Ketiga, tentang sistem kalender hijriah taqwîm.
Keempat, tentang penetapan puasa.
Dalam konteks wacana Islam lokal Minangkabau, teks takwim yang lengkap ini sangat penting. Perdebatan penentuan awal bulan dalam tahun Hijriah pernah menjadi perdebatan di kalangan ulama Minangkabau pada permulaan abad XX.
Dalam teks-teks manuskrip di Minangkabau secara umum menuliskan dua macam takwim, yakni Khamsiyah (hitungan dimulai pada hari Kamis) dan Rubuiyah (hitungan dimulai pada hari Rabu). Akan tetapi, teks takwim yang ditemukan pada manuskrip di Surau Simaung ada tiga takwim yang diwarisi oleh Syekh Burhanuddin dari gurunya Syekh Abdurrauf yang diwarisinya pula dari gurunya yaitu Syekh Ibrahim al-Qurani, yaitu Khamsiyah, Rubuiyah, dan Ahdiyah (hitungan dimulai pada hari Minggu). Takwim dengan hitungan Ahdiyah ini sepertinya tidak digunakan di Minangkabau karena tingkat kevalidannya yang minim.
Takwim yang masih digunakan oleh penganut tarekat Syattariyah hingga saat sekarang ini ialah Khamsiyah dan Rubuiyah. Takwim Khamisyah digunakan oleh penganut tarekat Syattariyah secara umum, yakni Ulakan, Koto Tuo, Calau Sijunjung dan lain sebagainya. Sedangkan takwim Rubuiyah digunakan oleh penganut tarekat Syattariyah di Koto Tangah Padang. Secara hasil prediksi berdasarkan takwim antara penganut takwim Khamsiyah dan Rubuiyah berselisih satu hari, karena hari mulai menghitungan yang digunakan oleh masing-masing takwim berselisih sehari. Namun demikian, secara rukyah waktu Ramadhan mereka bisa saja sama, bisa selisih sehari dan bahkan bisa selisih dua hari, hal ini tergantung kepada hasil rukyatnya.
Misalnya, tahun ini Ramadan 1440 H bertepatan pada tahun Alif dalam kalender takwim. Alif dengan satu titik ditambah dengan huruf bulan Ramadan Ha dengan jumlah lima titik. Jika ditambahkan antara jumlah titik tahun dan bulan maka hasilnya adalah enam. Berdasarkan takwim Khamsiyah, awal Ramadan jatuh pada hari Selasa; sekiranya menggunakan takwim Rubuiyah, maka awal Ramadan jatuh pada hari Senin. Perbedaan dalam hal penentuan bulan Ramadan secara khusus, dan bulan Hijriah masih berlangsung hingga sekarang.
Dinamika penentuan awal Ramadan di Minangkabau tersebut pernah diteliti oleh Muhammad Rhazez Adiasa (2016). Sumber utama kajian ini menggunakan beberapa naskah takwim, termasuk naskah yang terdapat di Calau. Menurutnya, perbedaan penentuan awal Ramadan juga terjadi di kalangan penganut tarekat Syattariyah. Hal ini karena adanya perbedaan penggunaan bilangan dalam penentuan awal Ramadhan; ada kelompok yang menggunakan bilangan Rubuiyah dan sebagian yang lain menggunakan bilangan Khamsiyah (Adiasa, 2016: 157).
Selain teks takwim, naskah yang mengandung teks takwil gempa dengan uraian yang panjang dan lengkap juga ditemukan di Surau Simauang. Hal ini berbeda dengan naskah-naskah takwil gempa lainnya yang biasanya hanya berisi uraian singkat saja.
Dalam bidang tasawuf, koleksi Surau Simaung cukup lengkap, mulai naskah yang berisi ajaran martabat tujuh yang termuat dalam karya Syamsuddin Sumatrani (Rubai Hamzah Fansuri dan Tubayyin al-Mulahazah al-Mawwâhib wa al-Mulhîd Fî Zikrillâh); karya Syekh Abdurrauf Singkel (Tanbîh al-Masyi); bahkan salinan naskah karya Ali Sirnawi, guru dari Syekh Ahmad al-Qusyasi yang berjudul Mawâhib al-Khamsiyahdan; dan, karya Sayyid Mahumud al-Husni al-Bukhari al-Qadiri al-Syattari yang berjudul Diwâr al-Wujûd fi ‘Ilm al-Haqâ’iq.
Menariknya, kata Pramono di surau ini juga ditemukan naskah-naskah berkenaan dengan ajaran tasawuf dari tarekat Naqsyabandiyah yang ditulis oleh Arif Billah Ahmad Ibrahim.
Koleksi naskah di Surau Simaung juga diperkaya dengan naskah-naskah yang berisi teks pengetahuan tradisional, seperti cara menentukan kecocokan jodoh dengan menghitung nama pasangan, menenentukan kecocokan yang mengobati dengan yang diobati berdasarkan nama, melihat jenis pasangan dengan nama, melihat hal yang baik dan buruk berdasarkan pala (perjalanan) dan peredaran naga, bulan-bulan yang baik dalam satu tahun berdasarkan bulan-bulan yang dinamai dengan jenis binatang, hari yang baik untuk berjalan dan mendirikan rumah, meramal anak yang sedang dikandung apakah laki-laki atau perempuan, dan tanda-tanda gerak tubuh.
Lebih menarik lagi, beberapa naskah di Surau Simaung juga berisi teks genealogi tarekat Syattariyah di Minangkabau yang secara umum belum diketahui sebelumnya. Hal ini tentu saja menjadi informasi penting untuk mengungkap jaringan ulama lokal Minangkabau secara luas. Dengan demikian, melalui naskah-naskah ini akan menambah khazanah temuan berkenaan dengan jaringan keulamaan tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Sebagai ulama yang masyhur di kalangan penganut tarekat Syattariyah, maka tidak heran makamnya—yang terletak di lingkungan Surau Simaung—didatangi banyak penziarah. Sepanjang tahun, seribuan orang datang ke surau tersebut untuk berbagai tujuan, baik membayar nazar, berziarah ke makam Syekh Bayang, dan lain-lain.
Selama 3 bulan itu, ada sekitar 70 sampai dengan 120 rombongan menggunakan bus setiap tahunnya. Penziarah yang datang tidak hanya berasal dari Sumatera Barat, tetapi juga berasal dari Sumatera Utara, Jambi, Riau, Lampung, Bengkulu, dan daerah lainnya. Puncak ziarah tersebut terjadi tepat pada tanggal 13 Jumadil Akhir. Pada acara ziarah puncak ini, di Surau Simaung akan diadakan kenduri selamat dengan menyembelih seekor kerbau untuk menjamu para penziarah.
Selain itu, juga dikenal “Ziarah Rayo Anam” di Surau Simaung. Ziarah ini hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar Nagari Sijunjung yang datang ke makam Syekh Malin Bayang. Mereka membawa nasi dan makanan untuk makan bajamba (makan bersama) di lokasi Surau Simaung. Ziarah ini dilakukan dalam rentang waktu selama satu bulan.
#GP | Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar