3. Surau M. Yasin
Dikatakan Pranomo, sesuai namanya, Surau Syekh M. Yasin didirikan oleh ulama beraliran tarekat Syattariyah: Syekh Muhammad Yasin Anku Qadi Koto Tujuh, gelar Malin Mandaro. “Seandainya hamba meninggal dunia di rumah anak istri, tolong kuburkan hamba di tanah anak istri. Dan jika hamba meninggal dunia di rumah sanak saudara, kuburkan hamba di tanah sanak saudara pula.” Pesan Syekh Muhammad Yasin ini dicatat dalam sebuah stensilan yang berjudul “Sejarah Ringkas Aulia Allah Al-Shalihin Syekh Muhammad Yasin Malin Mandaro Angku Kadhi Gaek Tanjung Ampalu Koto VII”.
Pada 12 Syawal 1367 (17 Agustus 1948) Syekh Muhammad Yasin meninggal dunia di kediaman istri pertamanya yang bernama Maimunah. Sesuai dengan wasiatnya, di tempat inilah beliau dimakamkan, tepatnya di sebelah Surau Kalambak, Tanjung Ampalu, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung. Hingga kini, pada bulan-bulan tertentu banyak orang yang mendatangi makam ini untuk berziarah.
Semasa hidupnya, Syekh Muhammad Yasin tidak hanya dikenal sebagai ulama Tarekat Syattariyah, tetapi juga sebagai tokoh adat oleh masyarakat Tanjung Ampalu. Perpaduan sebagai ulama di satu sisi, tokoh adat di sisi yang lain membuatnya dikenang sebagai ulama yang memiliki sikap moderat: indak ado kusuik nan indak salasai, ‘tidak ada kusut yang tidak (bisa) diselesaikan’.
Selain di Surau Kalambak, Syekh Muhammad Yasin juga mengajar di Surau Bawah Ronge. Surau ini berdiri di atas tanah kaumnya. Surau Kalambak dan Surah Bawah Ronge terletak berseberangan di antara Sungai Ombilin.
Murid-muridnya cukup banyak, tidak hanya berasal dari Sijunjung, tetapi juga dari daerah lain, seperti dari Padang Pariaman.
“Sewaktu itu murid Syekh Muhammad Yasin berbaris bersyaf di kiri dan kanan jalan, mulai dari rumah dimana beliau menghembuskan nafas terakhir sampai ke tanah perkuburan.
Untuk membawa jenazah Syekh Muhammad Yasin sampai ke tanah perkuburan, cukup dari tangan ke tangan murid-murid beliau saja,” tulis ahli waris dalam sebuah catatan yang berisi sejarah Syekh Muhammad Yasin.
Gambar 3. Keterangan yang punya ini surat Muhammad Saleh anak orang Kota Tujuh mengaji di Tanjung Balik Surau Batu Ampar, memulai mengaji fikih pada bulan Jumadil Awal tahun seribu tiga ratus tiga puluh dua. Sekarang tamat (ba’?) pada bulan Safar tahun seribu tiga ratus tiga puluh empat."..........diperanakkan bundanya Jamal Alam pada tahun 1104 dua hari bulan Zulkaidah malam Jumat”. Setelah itu juga terdapat keterangan “bahwa ini surat Angku Anum, ini kitab tuan Haji Muhammad Saleh guru Angku Anum yang ada di dalam daerah Rengat.
Salah satu yang dapat menjelaskan kebenaran sejarah ini adalah naskah-naskah yang tersisa yang sekarang tersimpan di rumah anak cucu Syekh Muhammad Yasin yang terletak berdekatan dengan makam.
Di rumah ini tersimpan rapi dua puluhan naskah yang tersisa yang pernah digunakan oleh Syekh Muhammad Yasin dan murid-muridnya untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan.
Naskah-naskah tersebut dipelihara dengan baik oleh ahli waris Syekh Muhammad Yasin. Naskah-naskah yang umumnya tebal tersebut mengandung beragam teks keagamaan, seperti tafsir, fikih, nahu, saraf dan tasawuf. Hampir seluruh naskah ditulis dengan bahasa Arab dan kondisinya masih bagus. Namun demikian, karena bahan naskahnya adalah kertas, maka sudah dapat dipastikan akan mengalami kerusakan yang disebabkan usianya. Oleh karena itu, diperlukan usaha yang berkelanjutan untuk pelestarian bahan atau alas naskahnya.
Diakhir wawancara nya sebagai penutup, Promono menyebutkan, Khazanah naskah koleksi Surau Calau, Surau Simaung, dan Surau Syekh M. Yasin memiliki kelebihan dibandingkan koleksi lainnya di Sumatera Barat. Kelebihannya tidak hanya jumlahnya yang lebih banyak, tetapi juga terkait kekayaan isi kandungan naskahnya. Dengan demikian, khazanah ini manjadi bagian penting dalam penulisan sejarah Kabupaten Sijunjung; khususnya tentang wacana dinamika keislaman lokal Sijunjung.
Naskah-naskah itu merupakan sumber penting yang tidak bisa diabaikan dalam rekonstruksi sejarah sosial masyarakatnya. Mengabaikan naskah-naskah dalam penulisan sejarah dan dinamika Islam lokal bukan hanya keliru secara metodologis sejarah, tetapi juga dapat menghasilkan sejarah yang tidak akurat dan misleading (Azra, 2004: 3).
Semoga tim peneliti berkenan melirik khazanah naskah itu untuk dijadikan sumber penyusunan episode dinamika wacana Islam lokal Sijunjung ke dalam “Sejarah Kabupaten Sijunjung”, tutup Pramono.
#GP | Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar