Sijunjung (SUMBAR).GP - Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumbar, melaksanakan seminar bertema " Pelestarian Warisan Budaya Kawasan Perkampungan Adat Sijunjung" di Hotel Bukit Gadang Muaro, Jumat dan Sabtu (1-2/9) yang salah satu dari narasumbernya adalah Dr. Pramono (Filolog dan Dosen FIB Unand) peluang emas bagi saya ikut serta dalam seminar tersebut sebagai peserta dari media goparlement bersama Adpi Gunawan wartawan media TopSumbar.
Dalam perbincangan ringan dengan media, Jumat (1/9) Pramono mengatakan, banyak hal yang harus digali dan diteliti di Kabupaten Sijunjung, seperti halnya “Sejarah Kabupaten Sijunjung” yang sudah lengkap yang telah diusahakan oleh Pusat Studi Humaniora (PSH) Universitas Andalas bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sijunjung.
Terkait Sejarah Kabupaten Sijunjung ini, Pramono ingin memberikan "Imbuh" terhadap sejarah tersebut, yang namanya saja juga ‘imbuh’, tentu harus sedikit, tak boleh banyak-banyak; apalagi sampai melebihi hidangan utamanya. Namun demikian, saya akan berusaha memberikan imbuh daging, tidak yang lainnya, katanya ketika berbincang dengan media.
Dari laporan penelitian itu, saya dapat pemahaman kata Pramono, bahwa agaknya tim peneliti masih ragu-ragu memasukkan dinamika Islam lokal sebagai bagian penting dalam perjalanan sejarah Kabupaten Sijunjung. Dari aspek sumber kesejarahan –sumber Belanda khususnya—memang sangat minim ditemukan informasi berkenaan dengan dinamika keislaman di Sijunjung.
Sumber Belanda lebih banyak tentang kekayaan buminya. Barangkali ini salah satu penyebab kenapa episode Islam Sijunjung belum menjadi perhatian peneliti. Justru, dalam satu dasawarna ini, kami menemukan fakta menarik bahwa Sijunjung merupakan wilayah penting dalam konteks dinamika intelektual Islam.
Fakta ini tak terbantahkan dengan ditemukannya 200-an bundel naskah di tiga surau, yakni Surau Calau, Surau Simaung, dan Surau Syekh M. Yasin. Ketiga skriptorium ini telah membuktikan bahwa di Sijunjung pada masanya pernah berlangsung kegiatan intelektual yang sangat maju. Dua ratusan naskah itu merupakan sisa dan saksi atas dinamika intelektual yang pernah berlaku di Ranah Lansek Manih. Jumlah ini belum ditambah dengan koleksi perseorangan yang beberapa di antaranya sudah berhasil kami akses.
Tiga Surau sebagai Pusat Kecendikiaan di Sijunjung
Menurut Pramono, Khazanah naskah koleksi Surau Calau, Surau Simaung, dan Surau Syekh M. Yasin memiliki kelebihan dibandingkan koleksi lainnya di Sumatera Barat. Kelebihannya tidak hanya pada jumlahnya, tetapi juga terkait kekayaan isi kandungan naskahnya. Bahkan, beberapa teks keislaman yang sangat penting ditemukan di sini dan tidak ditemukan di tempat lain di Sumatera Barat. Syekh Abdul Wahab di Calau, Syekh Malin Bayang di Simaung, dan Syekh M. Yasin di Tanjung Ampalu adalah ulama penting Sijunjung yang mesti masuk dalam “narasi” sejarah Kabupaten Sijunjung.
Berikut ini Promono akan menyenaraikan ketiga surau beserta khazanah yang berada di dalamnya.
1. Surau Calau
Surau Calau dibangun oleh Syekh Abdul Wahab (w. 1869), seorang ulama yang berasal dari Tanjung Bonai Aur. Surau ini memiliki koleksi naskah terbanyak dibandingkan dua surau lainnya. Surau yang terletak di Jorong Subarang Sukam, Nagari Muaro, Kabupaten Sijunjung ini memiliki koleksi 99 bundel naskah. Jumlah ini belum termasuk naskah-naskah yang rusak parah yang jumlahnya cukup banyak. Kerusakan ini karena usia naskah dan tempat penyimpanan yang kurang layak.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa, naskah-naskah tersebut merupakan sisa dari khazanah naskah yang jumlahnya jauh lebih banyak (Pramono, 2018: 14). Kepastian ini dapat diperkuat dengan keterangan Tuanku Umar St. Tuanku Mudo (pewaris Surau Calau), bahwa tidak sedikit naskah di surau itu yang diambil oleh kolonial Belanda.
Gambar 1. Inilah keterangan anak orang Batang Hari nan bernama Zari ianya hendak beremas hendak carikan bini.
Inilah keterangan anak orang Batang Hari. Inilah keterangan anak orang Lubuk Bulang yang berjual surat ke negeri Pulau Punjung nan punya surat faqih raja namanya, nan membeli Kapang Ali namanya.
Untungnya, 99 bundel naskah yang tersisa itu pada pada 2011 sudah dideskripsikan dan didigitalkan oleh Kelompok Kajian Poetika Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas bekerja sama dengan Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) Jepang dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa).
Dari deskripsi yang dilakukan, diketahui bahwa kandungan isi naskah-naskah itu sangat beragam, yakni sebanyak 339 teks. Di antara kanduangan isinya, teks tasawuf jumlahnya lebih dominan; disusul teks-teks lain seperti teks nahu saraf, teologi, fikih, hikayat, Alquran dan tafsir Alquran, takwim, pengobatan tradisional, dan hadis.
Pendeskripsian dan pendigitalan naskah tersebut telah berdampak positif terhadap lahirnya beberapa kajian naskah koleksi Surau Calau. Di antaranya seperti penelitian yang dilakukan oleh Danang Susena, dkk. (2013); Rizqi Handayani (2013); Kadrianto (2013); Alfida (2015); Septian Dwittes (2016); Pramono (2018); Abdul Razak Abdul Karim (2019); Nailur Rahmi dan Yusri Akhimuddin (2019); Firdaus Sutan Mamad 2019); dan Syukriadi, dkk. (2021). Kajian-kajian ini baru membahas sebagian kecil teks dari ratusan yang ada, yakni baru berkaitan dengan teks takwim, hikayat, pengobatan tradisonal, dan hadis.
Dengan demikian, masih terbuka lebar peluang bagi sarjana lain untuk menggunakan naskah koleksi Surau Calau sebagai bahan utama kajian. Beberapa naskah yang penting untuk segera mendapat perhatian peneliti, misalnya naskah yang berisi riwayat hidup Syekh Abdul Wahab. Naskah ini penting untuk segera diterbitkan suntingan teksnya agar khalayak luas dapat mengetahui riwayat dan keulamaan Syekh Abdul Wahab.
Selain itu, naskah-naskah yang mengandung teks pengobatan tradisional, azimat, dan konten lokal lainnya juga menarik dan penting untuk dikaji.
Selain teks yang beragam itu, di dalam khazanah naskah di Surau Calau juga terdapat iluminasi yang indah. Iluminasi ini terdapat di dalam naskah Alquran dan naskah Khutbah Idulfitri dan Iduladha.
Motif sulur dengan penggunaan warna hitam, kuning, dan merah mendominasi iluminasi di dalam kedua naskah tersebut. Penggunaan motif sulur dan warna tersebut merupakan ciri khas iluminasi yang terdapat di dalam naskah-naskah Minangkabau. Keberadaan iluminasi ini tentu saja dapat dijadikan bahan kajian yang menarik.
Surau yang terletak di pinggir sungai Batang Sukam ini telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya. Di kawasan surau ini juga terdapat pemakaman atau yang biasa disebut dengan tampat (makam yang dianggap keramat/suci). Di tampat inilah Syekh Abdul Wahab dan para syekh penerusnya dimakamkan. Pengaruh dan kewibawaan Syekh Abdul Wahab dan penerusnya membuat tampat ini selalu diziarahi oleh penganut tarekat Syattariyah.
Setiap tahun, pada malam ke-10 pada bulan Safar, ribuan orang dari berbagai wilayah datang untuk berziarah ke tampat tersebut. Penziarah tidak hanya berasal dari Sumatera Barat saja, tetapi juga berasal dari daerah Jambi, Bengkulu, Palembang dan Riau. Tradisi ziarah, atau yang dikenal dengan basafa ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Malahan, tidak sedikit pula penziarah yang datang di luar jadwal basafa tersebut.
Bersambung dengan Surau Simaung.
#GP | Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar