Oleh: Ustadz Zulkifli, S.Sos
Ketua FPKS DPRD Kabupaten Sijunjung
Sijunjung (SUMBAR).GP- Gadis itu berjalan pelan. Sebagai anak perempuan dari Harits bin Amir yang telah tewas dalam Perang Badar, dia penasaran bagaimana keadaan lelaki yang ditawan oleh keluarganya. Lelaki pengikut Muhammad yang ditawan untuk balas dendam kepada kaum Muslimin.
Si gadis menuju ruang tawanan dan alangkah kaget jantungnya. Dia melihat pemandangan yang tak pernah ditangkap oleh mata seumur hidup. Tidak ada seorang pun disana, kecuali sang tawanan. Lelaki itu, dalam jeruji tawanan, tampak tidak menderita. Padahal siksaan telah menderanya berkali-kali. Lelaki itu, tidak ada diberi minum dan makan. Tangannya terikat oleh rantai besi yang kuat. Tetapi kini, nampak olehnya sedang menikmati setangkai buah. Siapakah yang memberikannya?
Anak perempuan Harits itu bergegas keluar dan berteriak kepada orang-orang,”Demi Tuhan! Aku melihatnya menggenggam setangkai besar anggur dan memakannya. Padahal ia sedang terikat kuat dengan rantai besi. Dan juga, di Mekah ini tidak ada satu pohon pun anggur. Menurutku, ini rezeki yang diberikan Tuhan kepada Khubaib.”
Ya lelaki itu Khubaib bin Adi, salah seorang sahabat Rasulullah saw. Ia tertangkap ketika sedang melakukan aksi spionase mengamati musuh. Mereka ingin menyiksanya sedemikian rupa, sebagai balas dendam atas kekalahan pada Perang Badar. Tetapi Allah menjaganya dengan caraNya. Pengorbanan dan perjuangannya, sangat pantas mendapat rezeki dari Allah yang diberikan kepada hambaNya yang saleh. Sebagaimana pernah diberikan kepada Maryam binti Imran.
Khubaib bin Adi adalah lelaki saleh yang taat. Malam ia mendirikan shalat malam. Siang ia berpuasa. Ia adalah veteran Perang Badar yang gagah berani. Pada puncak perjuangannya bertahan sebagai tawanan, Allah memberi rezeki dari arah yang tidak diduga.
Berjuang, pasti ada tantangannya. Berjuang pasti ada puncaknya. Tapi justru di puncak perjuangan, balasan tidak bernilai baru bisa dirasakan. Begitu pula dalam ibadah Ramadhan. Allah memilihnya sebagai bulan istimewa di antara dua belas bulan. Dan di antara hari-hari ibadah bulan Ramadhan, puncaknya adalah di sepuluh hari terakhir. Di antara hari yang sepuluh itu, ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Malam yang sangat dirindukan orang Mukmin sejati. Itulah malam Lailatul Qadar.
Allah s.w.t berfirman dalam Surat Al Qadar, ayat 3:
{ لَیۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَیۡرࣱ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرࣲ }
"Malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik daripada seribu bulan."
Tiada yang akan mendapatkan kemuliaan Lailatul Qadar, kecuali yang mempersiapkan sejak awal Ramadhan. Maka mulailah sejak awal ini, dengan kesungguhan kita berpuasa, Qiyamul Lail, sedekah, Tilawatil Quran, dan amal saleh lainnya. Tantangannya banyak, khususnya kaum Muslimin Indonesia. Ada tradisi mudik, yang dilaksanakan justru di sepuluh hari terakhir. Sementara, I’tikaf di Masjid lebih dianjurkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ada kue lebaran yang menggoda dan promo baju baru yang gencar dimana mana. Tidak ada larangan menikmati itu semua, tapi tantangannya bagaimana mengatur 10 hari terakhir justru ibadah semakin maksimal, apapun yang terjadi. Karena tidak ada kenikmatan dunia yang pantas mengganti kemuliaan malam Lailatul Qadar.
Khubaib, di akhir perjuangannya disiksa di tiang salib, sembari dihujani anak panah, hujaman tombak dan sabetan pedang. Tapi itu semua tidak membuat Khubaib gentar. Hingga saat salah seorang pemimpin Quraisy menawarkan kebebasan,”Bagaimana jika Muhammad menggantikanmu dan kamu bebas, sehat sejahtera bersama keluarga?”
Khubaib tersentak dan menjawab dengan lantang,”Demi Allah, aku tidak suka berada bersama keluargaku tanpa kekurangan apa pun, sementara Rasulullah tertusuk duri!”
Sungguh mulia cintanya kepada Rasulullah. Lukanya bertubi-tubi, tapi tak rela diganti dengan luka Nabi tertusuk duri. Jawaban yang mengejutkan pemuka Quraisy. Dan membuat mereka semakin gila menyiksa Khubaib hingga wafat sebagai syuhada. Wajarlah bila Khubaib mendapat rezeki langsung dari RabbNya, dalam jiwanya telah terpatri prinsip perjuangan paling tinggi, cinta kepada Allah dan RasulNya di atas segalanya. Tak rela hal-hal rendah menggantikan apa yang ingin dicapainya. Semoga kita bisa meneladani prinsip Khubaib, dalam menggapai puncak perjuangan di bulan Ramadhan, meraih Lailatul Qadar. Tak rela menggantinya, dengan remeh temeh nikmat dunia.
Barakallahu fikum.
#GP | Sijunjung | 30 Maret 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar