Tak banyak publik yang mengetahui “Batu Kumondu”, sebuah batu yang terletak di Batang Kuantan, sejajar dengan lapangan bolakaki Jorong Silukah, Nagari Durian Gadang, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung.
Jika kita menelusuri Batang Kuantan (sebuah sungai) yang mengalir dari Nagari Muaro menuju Nagari Silokek terus Nagari Durian Gadang hingga ke hilirnya, kita akan menemukan ribuan batu besar (terutama di musim kemarau) terhampar di sepanjang sungai ini.
Sebagaimana layaknya sebuah batu, Batu Kumondu merupakan sebuah batu biasa yang terletak di Batang Kuantan namun memiliki sebuah keistimewaan, ini berhubungan dengan sejarah kelam masa lalu dan ada kaitannya dengan kejayaan bangsa Kolonial.
Bagi masyarakat di Nagari Durian Gadang keberadaan Batu Kumondu adalah sesuatu yang tak asing lagi, batu ini berjarak 20 meter dari Jalan Utama Nagari Durian Gadang menuju Nagari Paru.
Batu Kumondu telah menjadi saksi bisu vitalnya Batang Kuantan jelang akhir abad ke-19 sebagai prasarana transportasi utama yang menghubungkan “Darek” Minangkabau dengan wilayah pantai timur Sumatera hingga ke Selat Malaka.
Batang Kuantan adalah sebuah sungai yang berasal dari Batang Ombilin (yang juga berasal dari Batang Lasi, Batang Lunto, Batang Sumpahan) bertemu dengan Batang Sinamar (yang bertemu dengan Batang Sumpu), kemudian Batang Sukam ditambah dengan Batang Palangki (Yonni Saputra, 2011).
Batang Kuantan mengalir dari Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung menuju Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir di Propinsi Riau.
Bersama sungai besar lainnya, Batang Hari, Batang Kapur dan Batang Kampar, sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan membuktikan sudah ada peradaban di sekitar Batang Kuantan maupun sungai-sungai tersebut sejak abad ke-7 Masehi.
Sungai memegang peranan penting sebagai alat transportasi dan kelanjutan ekonomi hingga sosial budaya dan agama.
Secara empiris, antara hulu Batang Kuantan hingga ke hilirnya penduduk yang mendiami sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki kesamaan-kesamaan adat budaya, baik itu bahasa, dialek, kebiasaan, kesenian hingga garis keturunan yang menganut matrilineal meskipun dipisahkan oleh dua propinsi yang berbeda.
Fahrul Rasyid (2020) dalam “Sumatera Barat Berkiblat ke Timur” mengungkapkan bahwa moda transportasi yang digunakan untuk mengarungi sungai-sungai di Sumatera Barat yaitu dinamakan perahu kajang. Perahu kajang berukuran dua kali sembilan meter beratapkan daun palam, diawaki empat sampai enam orang mampu memuat dua hingga tiga ton barang-barang.
Batang Kapur mulai sepi yaitu semenjak tahun 1932 saat dibangunnya jalan Kelok Sembilan di Kabupaten 50 Kota, demikian juga Batang Kuantan nan perkasa (Syafii Maarif dalam Tri Joko Priatmo, 2022), diarusnya yang jeram tersimpan “jejak” perjalanan rempah, emas, kain serta masuknya Islam dan jalur “kereta maut” juga mulai sepi semenjak dibangunnya jalan Kiliran Jao menuju Teluk Kuantan pada tahun 1975.
Ingeniur Willem Hendrik De Greve
Ingeniur Willem Hendrik De Greve, biasa ditulis Ing. W.H. De Greve adalah seorang insinyur berkebangsaan Belanda kelahiran Franeker 15 April 1840. Beliau meraih gelar insinyur pertambangan dari Akademi Delft.
Pada 14 Desember 1861 ia ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menangani berbagai penelitian tentang bahan tambang dan kelak ini pulalah yang menggariskan beliau harus mengarungi Batang Kuantan yang terletak di Kabupaten Sijunjung saat ini.
Pada 27 Desember 1861 Ing. W.H. De Greve menikah dengan E.L.T. Baroness dan kemudian dikaruniai 3 orang anak. Bulan Agustus 1862 Ing. W.H. De Greve bersama Kepala Pertambangan Ing. C. De Groot Van Embden mulai melakukan penyelidikan dan pemetaan berbagai jenis kandungan mineral di Bogor, lalu berlanjut ke Bangka, hingga pada 26 Mei 1867 ditugaskan di pedalaman Minangkabau, yang oleh Kolonial Belanda diistilahkan “Dataran Tinggi Padang”.
Di Sungai Durian, Sawahlunto Ing. W.H. De Greve menemukan cadangan batubara yang sangat banyak, dikemudian hari inilah yang menjadi andalan energi di Hindia Belanda dan Ing. W.H. De Greve dijuluki sebagai “Penemu Batubara” tertua di Indonesia.
Dalam penelitian kedua, guna meneruskan eksploitasi batubara dan mencari jalur transportasi untuk pengangkutan batubara menuju “Negeri Kincir Angin”, jatuhlah pilihan untuk menelusuri Batang Kuantan hingga ke Selat Malaka, karena Batang Ombilin di Sawahlunto bermuara ke Batang Kuantan.
Batu Kumondu
Dalam penelusurannya, pada 22 Oktober 1872 Ing. W.H. De Greve terseret arus Batang Kuantan hingga meninggal dunia, ia dimakamkan di Nagari Durian Gadang, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, hanya itu catatan sejarah yang ada mengenai Ing. W.H. De Greve si Penemu Batubara Tertua di Indonesia.
Tertarik akan keberadaan Ing. W. H. De Greve yang dimakamkan di Nagari Durian Gadang, sejak tahun 2017 penulis telah melakukan penggalian mengenai Ing. W.H. De Greve ini.
Berdasarkan keterangan Edi Datuk Rajo Bandaro, usia 64 tahun, suku Patopang, saat ini merupakan Penghulu Pasukuan Patopang di Nagari Durian Gadang, bahwasanya Batu “Kumondu” berasal dari kata Ku yang artinya Angku, dalam bahasa Indonesia diartikan Engku, sementara Mondu artinya Mandor.
Maka dinamakan Batu Kumondu adalah karena memang di batu inilah dulu ditemukannya mayat Ing. W.H. De Greve setelah terseret arus Batang Kuantan. Ing. W.H. De Greve naik sebuah perahu buatan tukang lokal yang bermuatan 6 orang bersama asistennya yang bertugas mencatat kedalaman sungai sekaligus berperan sebagai juru bahasa, Ing. W.H. De Greve langsung melakukan pengukuran dengan tali yang telah diberi pemberat pada ujungnya.
Sesampainya di depan sebuah tepian Dinding Hari, yang saat ini sejajar dengan SDN 07 Durian Gadang, Jorong Koto Mudiak, tali yang dipegang oleh Ing. W.H. De Greve tersangkut dan naas beliau terseret arus sungai dan tak tertolong lagi.
Esok harinya, pagi-pagi seorang gadis yang hendak ke tepian sungai berteriak histeris dan teriakannya telah mengundang masyarakat sekitar untuk datang beramai-ramai menyaksikan, bahwa diatas sebuah batu ditemukan sesosok mayat dan mayat itu ternyata adalah Ing. W.H. De Greve yang hanyut pada hari kemarin.
Masyarakat Nagari Durian Gadang pada hari itu juga langsung melaksanakan prosesi pemakaman Ing. W.H. De Greve di lokasi yang berdekatan dengan tepian Dinding Hari, karena mayatnya tak bisa diluruskan maka dimakamkan dalam posisi duduk.
Gadis yang menemukan jasad Ing. W.H. De Grev diatas sebuah batu tersebut namanya yaitu Cahayo, setelah menikah beliau memiliki anak yang salahsatunya diberi nama Bilang. Bilang juga memiliki anak yang satu diantaranya bernama Siti Ramlan. Demikian pula Siti Ramlan juga memiliki salah seorang anak diberi nama Edi yang kelak bergelar Datuk Rajo Bandaro yang menjadi sumber utama dalam tulisan ini.
“Pada waktu itu Cahayo tengah bermalam di sawah menunggui padi, tetangganya di pondok sawah sebelah yaitu Tamba, sawah Tamba ini kemudian digadaikan kepada suku Melayu, keturunan daripada Tamba ini sekarang adalah Rahiman Gindo Ali merupakan Dubalang dalam suku Chaniago” ujar Edi Datuk Rajo Bandaro menerangkan sambil duduk disampingnya yaitu Rahiman Gindo Ali dimaksud.
Batu tempat ditemukannya Ing. W.H. De Greve inilah yang sampai sekarang dinamakan Batu Kumondu oleh masyarakat setempat.
Pada tahun 1982 batu nisan Ing. W.H. De Greve dilakukan pemasangan ulang, lalu tahun 1991, memperingati Satu Abad Tambang Batubara Ombilin diadakanlah Napak Tilas Ing. W.H. De Greve yang diikuti oleh 200 orang lebih peserta termasuk keturunan Ing. W.H. De Greve didalamnya.
Meskipun penelitian mengenai jalur transportasi batubara melalui Batang Kuantan menuju Selat Malaka tidak dilanjutkan sejak kepergian Ing. W.H. De Greve dan jalurnya dialihkan ke Padang dengan membangun rel kereta api mulai tahun 1887 dilanjutkan pembangunan Pelabuhan Emma Haven dimulai tahun 1888, namun pesona Batang Kuantan tak hilang.
Terbukti dengan masuknya bangsa Jepang pada 1942 melalui pekerja Romusha yang membangun jalur kereta api di sisi Batang Kuantan dari Nagari Muaro menuju Logas di Propinsi Riau, namun pekerjaan ini tak selesai akibat Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II dan Proklamasi dikumandangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar