Jakarta(DKI).GP – Beragam komentar dan pendapat di berbagai grup aplikasi Whatsapp memenuhi kolom komentar di grup WA wartawan se Indonesia terkait pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diselenggarakan LSP Pers Indonesia di Jakarta baru-baru ini.
Ketua Dewan Pers Indonesia, Heintje Mandagie mengatakan judul berita ini menjadi topik hangat yang dibicarakan. Ini menunjukan bahwa dinamika dalam menjalankan profesi itu sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan wartawan.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecenderungan terjadi polarisasi dalam kehidupan pers. Ada kubu yang dipotret abal-abal dan kubu yang dipotret sebagai wartawan profesional dan kompeten,” katanya, Selasa (22/3/2022).
Situasi dan kondisi ini terus bergulir sejak tiga tahun terakhir ini. Dan memuncak pada pelaksanaan pelatihan asesor kompetensi yang diikuti puluhan wartawan dari kelompok yang dianggap abal-abal.
“Kelompok ini berusaha membuktikan bahwa potret abal-abal yang disematkan selama ini justeru menjadi peluang dan tantangan untuk membenahi kehidupan pers Indonesia ke arah yang lebih baik,” lanjutnya.
Beberapa wartawan dari kelompok yang dilabel profesional pun ikut juga diajak menjadi peserta pelatihan ini, salah satu pesertanya merupakan penguji kompetensi yang berasal dari Dewan Pers. Sebagian dari peserta pelatihan asesor ini memegang sertifikat Kompetensi Wartawan Utama versi Dewan Pers.
“Hal ini cukup membuktikan bahwa praktek sertifikasi kompetensi bidang wartawan yang dilaksanakan selama ini oleh kelompok yang dianggap profesional ternyata melanggar aturan perundang-undangan dan berimplikasi pidana,” ungkapnya.
Penegasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjawab persoalan bahwa domain sertifikasi kompetensi ada pada Pendidikan Tinggi berlisensi dan Badan Nasional Sertifkasi Profesi.
“Dua lembaga ini yang diberi kewenangan sesuai Undang-Undang tersebut di atas,” jelasnya.
Pada pasal 44 UU Pendidikan Tinggi bahkan secara tegas menyebutkan : “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi.”
“Artinya aturan ini belaku di seluruh Indonesia bagi semua orang, semua organisasi, dan semua penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi,” tegasnya.
Hukuman atas pelanggaran pasal ini pun tidaklah main-main sebagaimana diatur pada Pasal 93 Undang-Undang ini yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.
#GP | Ril
Tidak ada komentar:
Posting Komentar