Oleh: Wilson Lalengke
Jakarta(DKI).GP – Dalam rangka mengetahui lebih mendalam tentang negara tetangga India serta Jammu dan Kashmir (J&K), Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), sebuah think tank terkenal di Indonesia, telah menyelenggarakan sebuah webinar internasional dengan tema “75 Tahun Kemerdekaan India: Perjalanan Jammu dan Kashmir Menuju Kemakmuran” [1]. Acara ini berlangsung pada hari Jumat, 4 Februari 2022.
Hadir sebagai narasumber pada webinar tersebut, para pakar dan pemerhati India, Pakistan, Jammu dan Kashmir, para pembicara terkemuka, baik yang ada di India maupun yang berdomisili di Indonesia. Mereka antara lain Letjen (Purn) Syed Ata Hasnain, Rektor Universitas Pusat Kashmir; Letjen (Purn) Vinod Bhatia, mantan Direktur Jenderal Angkatan Darat India untuk Operasi Militer; Veeramalla Anjaiah, peneliti senior CSEAS; dan Dr. Anton Aliabbas, dosen Universitas Paramadina di Jakarta. Selain para pakar, hadir juga pelaku sejarah, Dr. Utpal Kaul, warga Kashmir yang menyelamatkan diri dari serangan terorisme di Kashmir dan bergabung dengan India.
Sebagaimana diketahui bahwa pada tanggal 15 Agustus 2022 nanti, India genap 75 tahun merdeka dari penjajahan Inggris. Ketika wilayah semenanjung Asia Selatan itu dimerdekakan 75 tahun silam, negara jajahan Inggris ini dibagi ke dalam dua negara – India dan Pakistan – berdasarkan keyakinan agama masyarakatnya. Sebagaimana fakta sosiologis warganya, India merupakan bangsa yang mayoritas Hindu, sementara Pakistan mayoritas beragama Islam.
Namun demikian, di wilayah ini terdapat negara merdeka yang dikenal sebagai _Princely State_ atau Negara Pangeran. Negeri itu bernama Jammu dan Kashmir (J&K), yang didiami oleh masyarakat multi agama seperti Indonesia. Negara J&K tidak bergabung ke India maupun Pakistan hingga Oktober 1947.
Pada 22 Oktober 1947, pasukan Pakistan dengan pakaian sipil bersama dengan suku Pasthun –salah satu suku yang mendiami wilayah Pakistan dan Afganistan– menyerbu Jammu dan Kashmir. Para penyerbu ini melakukan penjarahan di beberapa perkotaan, baik kota besar maupun kota kecil. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan praktek genosida di Kashmir, terutama terhadap kaum minoritas, para pemeluk Hindu dan Sikh.
Perkembangan berikutnya, satu-satunya penguasa yang memerintah di J&K, Raja Hari Singh, bersama rakyatnya memutuskan untuk bergabung dengan India secara legal pada 26 Oktober 1947. Selanjutnya, Pemerintah India melakukan intervensi dan membebaskan J&K dari serbuan tentara Pakistan.
Namun demikian, upaya India saat itu tidak sukses sepenuhnya, karena sebagian kecil wilayah J&K, yang sekarang disebut Kashmir, masih dalam penguasaan tentara Pakistan, setelah terjadinya gencatan senjata yang ditengahi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1949.
“Kashmiris bangga menjadi warga negara India. Mereka menginginkan perdamaian dan kemakmuran,” simpul Dr. Utpal Kaul dalam paparannya di webinar CSEAS Jumat kemarin.
Pada tahun 1947, total Produk Domestik Bruto atau PDB India kurang dari US $ 30 miliar dengan jumlah penduduk 340 juta orang. Saat ini, India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dengan populasi 1,40 miliar orang.
“India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dan kekuatan nuklir yang bertanggung jawab. Perdamaian tidak dapat diterima oleh Pakistan,” jelas Letjen (Purn) Vinod Bhatia pada sesi pemaparannya di webinar CSEAS.
Kini, dengan PDB nominal US $ 3,05 triliun, peringkat ekonomi India adalah terbesar ke-6 di dunia. Negara yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi ini memiliki kekuatan militer terkuat keempat di dunia. Sementara itu, tingkat melek huruf masyarakat India saat ini tercatat 74,37 persen.
Berbanding terbalik dengan rakyat India dan Jammu pada umumnya, warga Kashmir justru menderita berkepanjangan akibat perang dan serangan teror yang disponsori Pakistan dan gerakan separatis di negeri itu sejak 1947. Penyebab utama semua penderitaan warga Kashmir adalah pendudukan Pakistan selama 75 tahun terakhir terhadap sebagian wilayah Kashmir. Walau demikian, setiap tahun Pakistan merayakan Hari Solidaritas Kashmir (KSD), yang dijadikan hari libur nasional di Pakistan, yakni pada 5 Februari setiap tahunnya, Perayaan itu dimaksudkan untuk menunjukkan solidaritas dengan orang-orang Kashmir.
Pakistan menduduki sebagian Kashmir secara ilegal melalui kekuatan militer. Pakistan melakukan sabotase terhadap rencana PBB untuk menjadi tuan rumah plebisit (pemungutan suara umum untuk penentuan suatu daerah – red) di J&K dengan melanggar Resolusi PBB No. 48 tahun 1948. Untuk melakukan plebisit, baik Pakistan maupun India harus menarik pasukan mereka dari J&K.
Resolusi PBB meminta Pakistan sebagai penyerbu menarik terlebih dahulu pasukan dan sekutunya. Karena Pakistan tidak menarik pasukannya, PBB membatalkan gagasan plebisit. Sejak 1989, Pakistan telah mengirim sejumlah teroris untuk menciptakan kekacauan, pertumpahan darah, dan kehancuran di J&K.
“Pakistan adalah negara yang nakal. India memiliki lebih banyak Muslim daripada Pakistan,” ungkap Letjen (Purn) Syed Ata Hasnain di webinar CSEAS yang dimoderatori Dr. Asep Setiawan dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Syed Ata Hasnain sendiri merupakan seorang Muslim India. Ia berkesempatan mencapai level tertinggi di kesatuan militer India. Ia bahkan pernah menjadi Komandan Jenderal Angkatan Darat India dari Korps ke-15 di Jammu dan Kashmir. Di India, telah pernah muncul warga muslim yang menjadi presiden, wakil presiden, menteri, banyak pebisnis, sejumlah bintang olahraga dan super star di film-film Hindustan papan atas. Kini, India memiliki penduduk beragama Islam sejumlah 200 juta dengan 300,000 lebih masjid. Di Kasmir sendiri terdapat tidak kurang dari 7.500 buah masjid.
Senada dengan Syed Ata Hasnain, Veeramalla Anjaiah mengatakan bahwa Pakistan adalah pelanggar resolusi PBB yang menyebabkan terhambatnya penentuan pendapat masyarakat Kashmir untuk menentukan nasib negerinya. “Pakistan sendiri adalah pelanggar, dan spoiler (pengacau – red) resolusi PBB. Karena Pakistan tidak pernah menarik pasukannya, India tidak menarik pasukannya. PBB membatalkan gagasan untuk melakukan plebisit di Jammu dan Kashmir,” ulas Veeramalla Anjaiah.
Dalam catatan sejarah, Pakistan pernah mengobarkan empat kali perang. Tiga perang terhadap Jammu dan Kashmir, dan satu kali perang berhadapan dengan India. Akan tetapi negara itu kalah dalam ke empat perang tersebut.
Dalam upaya untuk memadamkan kerusuhan yang diciptakan oleh Pakistan dan mendorong pembangunan ekonomi, Pemerintah India memutuskan untuk menghapus status otonomi khusus J&K berdasarkan Pasal 370 Konstitusi India dan meletakannya di bawah kendali langsung Pemerintah Pusat di New Delhi pada 5 Agustus 2019.
Dengan status baru tersebut, J&K telah bergerak ke arah yang benar selama dua setengah tahun terakhir. Kerusuhan sipil dan serangan teroris turun drastis. Pemerintah telah mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan infrastruktur di berbagai daerah di J&K.
“Selama dua tahun terakhir, terjadi pengurangan besar dalam jumlah serangan teror di Jammu dan Kashmir. Kita harus memuji Pemerintah India untuk ini,” kata Vishesh Kaul, seorang peneliti masalah J&K yang tinggal di New Delhi, dalam sebuah acara webinar yang diadakan oleh CSEAS tahun lalu [2].
Padahal, menurut Menteri Persatuan Negara untuk Urusan Dalam Negeri India, G. Kishan Reddy, sebanyak 244 insiden teror dilaporkan terjadi di J&K pada tahun 2020. Jauh berkurang dibandingkan dengan 594 insiden terorisme pada tahun 2019. Sementara 221 teroris tewas dilaporkan pada tahun 2020, dibandingkan dengan 157 pada tahun 2019.
Sejalan dengan pengalokasian dana yang besar, kebijakan itu berimplikasi kepada tersedianya lebih banyak lapangan pekerjaan melalui melalui pengadaan berbagai proyek di wilayah tersebut. Setelah penghapusan Pasal 370 pada 2019, banyak kemajuan telah dicapai di Jammu dan Kashmir.
"Warga Kashmir mendambakan perdamaian dan kemakmuran. Untuk itu, kami mengundang orang Pakistan datang ke negeri kami sebagai wisatawan. Jangan kirimi kami teroris yang hanya membuat kekacauan di wilayah Kashmir," harap Dr. Utpal Kaul, yang kini aktif sebagai Koordinator Internasional untuk Global Kashmiri Pandit Diaspora menutup pemaparannya.
Pada webinar yang sama, Dr. Anton Aliabbas menekankan pentingnya kombinasi pendekatan lunak maupun keras. “Untuk menghadapi tantangan keamanan di J&K, diperlukan campuran pendekatan antara tindakan lunak dan keras,” ujar Anton Aliabbas. (*)
Catatan:
[1] Global Talk: International Webinar; https://www.youtube.com/watch?v=W839MDcbrFs
[2] Jammu Kashmir Kini Bergerak Menuju Perdamaian dan Kemajuan; https://pewarta-indonesia.com/2021/08/jammu-kashmir-kini-bergerak-menuju-perdamaian-dan-kemajuan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar