JAKARTA.GP– Pembunuhan wartawan Simalungun, Mara Salem Harahap, oleh sekelompok orang merupakan salah satu bentuk tindakan terorisme terhadap kemerdekaan pers di tanah air. Bagaimana tidak? Penyerangan dengan senjata api yang telah menewaskan pimpinan redaksi media online Lassernewstoday.Com itu telah menimbulkan tidak hanya ketakutan di kalangan pekerja media massa, namun juga meruntuhkan kepercayaan para kuli digital terhadap perlindungan hukum atas mereka. Untuk mengembalikan rasa percaya diri para wartawan, para pembunuh itu harus diperlakukan seperti teroris dan mesti dihukum seberat-beratnya.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, kepada berbagai media sebagai responnya atas keberhasilan aparat Polri dan TNI mengungkap dan menangkap para terduga pelaku pembunuhan wartawan yang akrab dipanggil Marshal ini [1]. Atas keberhasilan pengungkapan kasus itu, Ketum PPWI menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada aparat dan semua pihak yang telah bekerja keras dan berhasil menangkap para pelaku.
BACA: https://tirto.id/cMdC
“Pembunuhan wartawan sering terjadi selama ini. Beberapa tidak terdeteksi dengan jelas karena berbagai faktor. Misalnya kematian wartawan Muhammad Yusuf beberapa tahun lalu di Lapas Kota Baru, Kalimantan Selatan [2]. Sudah jelas dia sakit, tetap dipaksakan ditahan dan tidak diberikan izin berobat ke dokter. Secara tidak langsung itu sebuah upaya pembunuhan wartawan. Nah, kasus kali ini sangat jelas sebagai tindak pidana pembunuhan wartawan, karena ditembak mati langsung oleh para pihak yang terganggu atas pemberitaan. Itu adalah teror terhadap kemerdekaan pers, yang merupakan nafas hidup bagi kalangan media,” ungkap Wilson Lalengke yang merupakan alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, Kamis, 24 Juni 2021.
Disebut sebagai tindakan terorisme, lanjut Lalengke, karena melalui pembunuhan Marshal, para pembunuh yang diduga merupakan elit politik, pebisnis, dan anggota TNI ini, bermaksud memberi pesan agar para jurnalis tidak mencoba mengutak-atik perilaku dan kegiatan illegal yang mereka jalankan. “Melalui pembunuhan yang sudah direncanakan itu, menggunakan senjata api yang dapat saja diduga merupakan senjata organik militer, para pembunuh ingin menebarkan pesan dan rasa takut ke masyarakat, khususnya kalangan media massa, agar ‘hati-hati kamu, berani macam-macam, saya dor!’ yang dampaknya menusuk langsung kepada eksistensi kemerdekaan pers,” imbuh tokoh pers nasional yang terkenal gigih membela para wartawan yang terzolimi selama ini.
Oleh karena itu, kata Lalengke lagi, pihaknya berharap agar ‘para teroris’ itu diusut tuntas terkait motivasi mereka melakukan pembunuhan. Jika terbukti mereka melakukan penyerangan terhadap wartawan Marshal karena pemberitaan tentang bisnis obat terlarang dan berbagai tindak kriminal lainnya yang mereka lakukan, maka kasus ini layak dianggap sebagai kasus terorisme, dan pelakunya mesti dihukum maksimal.
“Menurut saya itu bukan kasus pidana biasa, harus masuk kategori pidana terorisme, karena telah menyerang kemerdekaan pers, kemerdekaan bersuara, kemerdekaan dari rasa takut, yang kesemuanya itu adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi dan Piagam HAM Internasional. Ditambah lagi, pembunuhan ini jelas direncanakan, mesti dikenakan pasal 340 KUHP, yang ancamannya hukuman mati [3]. Saya meminta ancaman maksimal ini diterapkan dalam kasus kematian wartawan Marshal,” tegas mantan Kepala Sub Bidang Program pada Pusat Kajian Kebijakan dan Hukum Sekretariat Jenderal DPD-RI ini mengakhiri releasenya.
#GP | APL | Red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar