Syaiful mengingatkan, virus intoleran dan radikalisme bisa menyusup ke generasi milenial melalui situs web, media sosial, dan aplikasi berbasis teknologi informasi lainnya.
Dengan penguatan karakter, kata Syaiful, pengaruh negatif tersebut bisa dikurangi, generasi milenial bisa menilai mana yang harus diikuti dan mana yang harus dihindari. Ia sepakat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tanggal 2 Mei dapat dijadikan sebagai momentum untuk menggelorakan penguatan karakter bangsa melalui pendidikan formal maupun nonformal. Apalagi, kata Syaiful, saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Syaiful mengatakan, dalam membangun generasi muda harus terus dilakukan inovasi seiring dengan perkembangan zaman. Ia menyebut program duta damai dunia maya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah inovasi dengan melibatkan generasi muda melawan propaganda radikalisme dan terorisme di dunia maya. Dengan inovasi dan kreativitasnya, kata Syaiful, generasi milenial bisa diandalkan untuk menghasilkan konten dan narasi damai.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan hasil survei nasional tentang potensi radikalisme tahun ini. Hasilnya cukup mengejutkan, yaitu 85 persen generasi milenial rentan terpapar paham radikal. "Dengan hasil survei ini, kita diingatkan untuk mewaspadai pergerakan spread of radicalisation di dunia maya ini. Tidak hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia," ujar Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar terpisah.
Dia memaparkan, situasi pandemi Covid-19 yang dimanifestasikan dalam aktivitas sekolah diliburkan dan perkantoran sebagian diatur membuat masyarakat di rumah lebih banyak menggunakan waktu untuk berselancar di dunia maya. Menurutnya, generasi milenial yang mengakses internet ibarat masuk ke hutan belantara. Saat mencari konten keagamaan misalnya, ada kecenderungan menerima preferensi ceramah keagamaan dengan durasi singkat sehingga tidak diterima secara utuh.
Di sisi lain, jaringan teroris sangat intens menyebarkan narasi radikal dan intoleran. "Pada saat yang sama, anak-anak muda yang disebut gen Z ini belum tumbuh ketertiban sosial, kepatuhan hukum dan itikad dalam menggunakan media sosial untuk tujuan yang baik," ujarnya.
Oleh karena itu, kita harus berperan aktif mengatasi masalah tersebut. "Tidak bisa kita melarang internet, karena itu hak anak muda. Tapi bagaimana memberi edukasi yang baik, yaitu menggunakan medsos dengan cerdas.
Selain generasi milenial yang rentan terpapar radikalisme, survei juga menemukan potensi radikalisme yang lebih tinggi di kalangan perempuan daripada laki-laki. "Perempuan memiliki potensi 12,3%, sedangkan laki-laki 12,1%,". Temuan lainnya yaitu potensi radikalisme di kalangan kaum urban yang lebih tinggi dari kalangan rural," pungkasnya.
#GP | Red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar