Rikha Anggraini, M. Pd |
GOPARLEMENT.COM- Aku..terlahir tanpa sempat mencium wangi sang bidadari.
Kiranya di detik tepat sebelum dentuman ke dua puluh satu, dapatku berdebat Kepada izrail, ingin kupintakan wasiat tentang kerelaan.
Aku telah dilimpahkan waris, pas ketika nafas pertamaku berhembus, aku menanggung segala piutang hidup dan doa sebagai perisai dunia yang hanya dapat kuhadiahi.
Ibu...
nisanmu tertancap jauh bukan hanya di bumi, namun di sanubariku. Wajahmu menerjemah di atas kanvas serupa melukis nama tempat asing tak dikenal, yang hanya dapat ku pandang di dinding-dinding kebekuan, menebus kerinduan hingga perih terasa menyayat ke ulu hati, jantung dan nadiku. Ada ritual sepi, beberapa jeda sunyi senyap. Ada ibadah cawan, ketika apa yang kau tuang hanya segelintir kenangan.
Mewarna matamu, tak kalah rumit dari kadar konstruksi menara. Apalagi memandangi garis senyummu, yg terbentang jauh membelah cakrawala. Bulir demi bulir hembusan angin muara kuresap dalam dalam, mantra sakti dan gurindam hayat sudah kurapal erat dalam genggaman. Agar kau tahu, demi menyelamatkan kenangan aku rela dimurba masa, di cengkram kuku ingatan menjadi kutukan. Percayalah, ada huruf yang ketika di tulis meleburkan seluruh alam raya, ada kata yang ketika diucapkan menasik kubur barzah, ada kalimat jika disampaikan menggugurkan dosa penista, dan ada kisah yang jika diperdengarkan hanya menyisakan air mata.. kemudian kepada diriku yang kau warisi, ku pegang teguh hakikat min, nun, dan ya..atas nama Allah Azza Wa Jalla, Kun fa yakun, maka jadi terjadilah.
#Lara | 11/02/2021: 04. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar