Sijunjung(SUMBAR).GP- Bedah buku karya Desi Kirana Aza, seorang penulis kampung dan seminar penulis pemula Kabupaten Sijunjung ini dibuka secara resmi Wakil Ketua DPRD Syofyan Hendri, S.Pdi di Aula Dinas PU Sijunjung, Minggu(19/7).
loading...
Bedah buku " Kenapa harus malu" dan seminar penulis pemula yang diselenggarakan organisasi Ikatan Pemuda Muslimin Peduli Sijunjung(IPMPS) Langsek Manih ini, diapresiasi legislator Kabupaten Sijunjung, Syofyan Hendri dan Ustdz Hendri Susanto, LC
Bedah buku perdana karya Desi Kirana Aza yang juga merupakan kegiatan perdana Bedah buku di ranah lansek manih mendapatan sambutan hangat dan antusias dari mahasiswa, masyarakat umum dan pelajar yang menghadiri acara tersebut.
"Kami sangat mengapresiasi adanya kalangan milenial yang membangkitkan motivasi membaca bagi putra-putri daerah ini," ungkap Syofyan Hendri dalam sambutannya.
Setidaknya dengan munculnya seorang penulis Desi Kirana Aza dari generasi muda ini lanjut Syofyan akan membuat citra Kabupaten Sijunjung harum di tingkat Sumbar maupun nasional nantinya.
"Kami selaku anggota legislator daerah Sijunjung akan selalu mensuport berbagai kegiatan generasi milinial, apalagi kegiatan literasi ini," tegas Syofyan.
Bertindak selaku pembedah Ketua Komisi Pemilihan Umam (KPU) Sijunjung, seorang penikmat sastra dan wartawan senior Lindo Karsyah dengan pisaunya yang tajam membantai karya Desi Kirana Aza berjudul "Kenapa harus malu" dengan moderator Repi Rizaldi, S.Ag.
Dalam acara ini Ustadz Hendri Susanto, LC. menyampaikan kisah motivasi dan sekaligus memberikan hadiah dari kantongnya sendiri serta menyerahkan door prize bagi peserta yang menjawab quiz yang ia berikan.
"Sangat luar biasa, baru kali ini kami menyaksikan ada acara bedah buku seperti ini di Kabupaten Sijunjung," puji Hendri Susanto di sela-sela kata sambutannya sebagai anggota DPRD Kabupaten Sijunjung.
Dalam kata pengantar Desi Kirana Aza menyebutkan, Novel Sahabat Terbaik agaknya adalah sebuah kisah terjahit rapi dengan kehidupan kemiskinan yang tidak tergadai. Betapa kepedihan hidup bergelayut pada sang tokoh, namun ada kemuliaan yang melekat pada diri.
Keseharian boleh akrab dengan rasa lapar, akan tetapi meminta-minta bukan sebuah jalan yang ditempuh. Lebih dari itu, rasa kasihan orang, bukan momentum yang dimanfaatkan. Rasa iba teman dekat dan keluargany tidak dijadikan komoditi untuk mendapatkan bantuan.
Kesan di atas muncul saat membaca novel yang dibidani oleh Penulis yang betah hidup di pedesaan ini. Kemiskinan dijadikan gagasan karya, tetapi tidak mengumpan banjir air mata. Kesengsaraan demi kesengsaraan hidup dirangkai layaknya orang yang tidak beruntung secara ekonomi.
Laksana pahitnya hidup tokoh mendapatkan sepasang sepatu baru, tapi toh dia adalah remaja yang bisa tersenyum pada semua orang kendati alas kakinya sudah mengangga.
Dialog dan keheningan percakapan diramu sedemikian rupa.
"Akhirnya, kita tahu kemiskinan bukan untuk diratapi dan ditangisi, tetapi sebuah keadaan yang mesti dijalani secara bermartabat," tutup Lindo Karsyah.
#GP | Herman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar