JAKARTA.GP- Kenaikan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan akhir-akhir ini menjadi polemik ditengah pandemi Covid-19, bagaimana tidak pada tanggal 5 Mei Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan yang dimana sebelumnya Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 24/P.PTS/III/2020/2020/7P/HUM/2020 telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tersebut Iuran BPJS naik daripada sebelumnya dimana sebelumnya kelas 3 sebesar Rp. 25.500, kelas 2 Sebesar Rp. 51 ribu dan kelas 1 Sebesar Rp. 80.000 menjadi kelas 3 Rp. 42.000, kelas 2 Rp. 100.000, dan kelas 1 Rp. 100.000. meskipun Iuran bagi peserta PBPU dan peserta kelas 3 ada subsidi dari pemerintah, tetapi tetap hal ini akan memberatkan rakyat Indonesia.
Beranjak dari peristiwa tersebut, Deddy Rizaldy Arwin Gommo Mahasiswa Hukum Universitas Kristen Indonesia, Maulana Farras Ilmanhuda, Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya dan Eliadi Hulu Legal disalah satu perusahaan di Jakarta bertanya-tanya mengenai putusan Mahkamah Agung yang bersifat final dan mengikat (ergo omnes) itu yang bagaimana, kenapa pemerintah bisa mengajukan kembali walaupun Peraturan perundang-undangan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung
Dan akhirnya pada tanggal 2 Mei 2020, Deddy Rizaldy Arwin Gommo, Maulana Farras Ilmanhuda dan Eliadi Hulu, selaku Pemohon mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi konkritnya pasal 31 ayat 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengenai kepastian hukum pasal tersebut.
Ada beberapa hal yang mendasar terkait hal ini. pertama, bilamana Putusan Mahkamah Agung bersifat Final dan mengikat tentunya pemerintah (Presiden) harus kooperatif dan mematuhi putusan tersebut, kalau Perundang-undangan yang dibatalkan dan bisa diajukan kembali walaupun substansinya sama.
Sama saja berarti putusan Mahkamah Agung tidak bersifat final dan mengikat. Hal ini membuktikan pemerintah (eksekutif) telah melampaui kekuasaanya, padahal sejatinya kedudukan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif itu sama tingginya (sederajat).
Kedua, dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan menunjukkan putusan Mahkamah Agung tidak bersifat final dan mengikat.
Hal ini sudah mencederai hakikat hukum keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechtssicherheit), kemanfaatan (zwachmatigheit) dan jika Perpres ini digugat lagi di Mahkamah Agung sudah secara jelas tidak mengindahkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang menyebabkan proses peradilan bertele-tele tanpa kepastian.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan ini sangat merugikan dan memberatkan rakyat Indonesia.
Dalam petitumnya Pemohon Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan tersebut bersifat final dan tidak boleh diundangkan kembali.
Fiat justitia ruat caelum, Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh - Lucius Calpurnius Piso Caesoninus.
#GP | RED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar