JAKARTA.GP- Komite I DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) melalui virtual meeting dengan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur Rabu kemaren. RDPU ini membahas Rancangan Undang – Undang (RUU) Omnibus Law, sebut Wakil Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi Dapil Aceh, Minggu (03/05/2020) melalui WhatsAap nya.
Dalam RDPU yang diikuti oleh 20 anggota Komite I ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr. Abdul Kholik (Dapil Jateng) yang didampingi oleh Ketua Dr. Agustin Teras Narang (Kalteng), Wakil Ketua Jafar Alkatiri (Sulut) dan Fachrul Razi (Aceh).
YLBHI memandang RUU Cipa Kerja (Omnibus Law) ini hyper regulasi dengan alasan adanya tumpang tindih aturan, menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk di Prapendaftaran untuk berusaha dan untuk memulai usaha itu diatur lebih lanjut melalui UU, 2 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres) dan 20 Peraturan Menteri (Permen).
“DPD RI harus bersikap tegas terhadap RUU Omnibus Law. Karena RUU ini menciderai prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Disusun secara cepat dan memasuki hampir semua sektor, dan tidak melalui tahapan dalam pembentukan UU, yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Lalu bertentangan juga dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur di pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. (PPP). Omnibus Law ini juga mempersempit keterbukaan dan ruang partisipasi publik yaitu (minim pelibatan masyarakat dan meminimalkan peran dan keterlibatan serta fungsi legislastif parlemen dalam penyusunan RUU”, ujar Isnur.
Ketua Advokasi YLBI menambakan, RUU Omnibus Law mempunyai pasal yang melemahkan peran Pemerintah Daerah, yaitu pasal 6 ayat 5, pasal 8 ayat 7, pasal 34A ayat (1) RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, lanjutnya, pasal 15 ayat (1) RUU Cipta Kerja menarik kewenangan izin pariwisata ke Pusat. Pasal 7 dan Pasal 16 serta sejumlah pasal RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan Daerah ke Pusat terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diatur dalam UU nomor 27 tahun 2017.
“Ada upaya sentralisasi berlebihan dan pelemahan Pemda di sektor tata ruang, pariwisata, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil, pengelolaan limbah B3, pangan dan pendidikan”, tegas Isnur.
Menanggapi pemaparan dari YLBH tersebut, Wakil Ketua Komite I Dr. Abdul Kholik menjelaskan, dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan dan pasal yang masih bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja serta dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi Indonesia yang sedang menghadapi Pandemi Covid–19, maka Komite I DPD RI perlu menyatakan kepada Pemerintah dan DPR RI serta Pimpinan DPD RI untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
“RUU Omnibus Law telah menjungkirbalikan seluruh proses pembentukan UU yang selama ini sudah partisipatif di era reformasi. Dari aspek substansi RUU ini sangat beresiko apabila RUU ini tidak dibahas dengan baik terutama proses pembentukannya. UU selalu mempunyai tiga basis, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Di RUU ini banyak masalah pada ketiga basis itu”, ungkap Kholik.
Senada dengan Abdul Kholik, Ketua Komite I DPD RI Dr. Teras Narang sependapat dengan masukan dari pemaparan Ketua YLBHI. Menurutnya, Komite I DPD RI sudah sejak 16 April lalu mengeluarkan pandangan dan pernyataan sikapnya atas RUU Omnibus Law yang sudah dimuat dibeberapa media nasional termasuk dikirimkan secara resmi melalui surat kepada Pimpinan DPD RI agar ada sikap yang tegas secara kelembagaan dari DPD RI.
“Salah satu pandangan Komite I DPD RI ketika itu adalah mencermati bahwa RUU Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU ini akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945”, ungkap mantan Gubernur Kalteng dua periode ini.
Di sesi tanya jawab pada RDPU tersebut, anggota Komite I yang berasal dari dapil Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mengatakan RUU Omnibus Law telah mengembalikan sistem politik pemerintahan kita kembali ke era Orde Baru yaitu sentralistik.
“Ini bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan DPD RI kurang agresif mensikapi RUU Omnibus Law. Harus ada sikap tegas dari DPD RI”, tegas Filep.
Sementara itu, Abrahan Liyanto yang berasal dari dapil NTT dengan tegas juga meminta pembahasan RUU Omnibus Law ditunda tanpa batas waktu.
“Sementara tunda saja dulu, sambil DPD RI juga menyusun DIM RUU Omnibus Law ini”, ujarnya.
Senator dari dapil Banten, Habib Ali Alwi mengatakan, RUU ini sebaiknya ditarik dari DPR karena momentumnya kurang pas dan saat ini masih dalam suasana pandemi Covid–19.
“Kami di DPD RI jadi bertanya–tanya ada apa ini, kok dipaksakan membahas RUU Omnibus Law di DPR. Sebaiknya ditunda saja dan jangan dipaksakan karena terlalu besar polemiknya”, tegas Habib.
Leonardy Harmainy yang merupakan Senator dari dapil Sumbar mendesak agar pimpinan Komite I DPD RI segera mensurati kembali pimpinan DPD RI.
“Komite I surati kembali pimpinan DPD RI soal pembahasan RUU Omnibus Law agar ditarik dari DPR dengan melihat fenomena yang terjadi di pemerintahan daerah dan dunia usaha. Karena banyak upaya untuk meresentralisasi”, ujarnya.
Sedangkan Lili Amelia, anggota Komite I DPD RI dari dapil Sulsel mengatakan RUU ini berpihak pada pengusaha besar.
“Sepertinya kita akan dibawa kembali oleh Pemerintah Jokowi ini ke sentralisasi masa Orde Baru. RUU ini dipaksakan hanya untuk satu golongan saja yaitu pengusaha besar dan tanpa adanya partisipasi masyarakat”, ungkap Lili.
Maria Goreti yang berasal dari dapil Kalbar dan Abdul Rachman Thaha dari dapil Sulteng menyatakan hal yang senada. Menurutnya, timing pembahasan RUU Omnibus Law tidak pas sehingga sebaiknya sikap DPD RI adalah menolak RUU ini. Karena, lanjutnya, spirit RUU ini adalah sangat berpihak ke pemilik modal.
“Komite I Mendesak Pimpinan DPD RI Menolak RUU Omnibus Law. DPR dan Presiden selalu mengabaikan DPD RI dalam pembahasan RUU ini”, tuntut Maria.
“DPD RI harus dilibatkan dalam pembahasan RUU ini”, tegas Thaha.
Sedangkan Badikenita Sitepu yang berasal dari dapil Sumut menyampaikan perlunya RUU Omnibus Law ini dikaji ulang dan disesuaikan dengan kondisi sekarang serta menunda pembahasannya.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Jafar Alkatiri yang berasal dari Sulut menjelaskan, Komite I DPD RI cenderung menolak RUU ini karena tidak menguntungkan semua pihak.
“Kami meminta pembahasan harus transparan, inklusif dan partisipatif. Selama ini DPD RI tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Ini catatan untuk pemerintah dan DPR”, tegas Jafar.
#GP | Ce | dpdri | Red
Dalam RDPU yang diikuti oleh 20 anggota Komite I ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Dr. Abdul Kholik (Dapil Jateng) yang didampingi oleh Ketua Dr. Agustin Teras Narang (Kalteng), Wakil Ketua Jafar Alkatiri (Sulut) dan Fachrul Razi (Aceh).
YLBHI memandang RUU Cipa Kerja (Omnibus Law) ini hyper regulasi dengan alasan adanya tumpang tindih aturan, menghambat akses pelayanan publik dan menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk di Prapendaftaran untuk berusaha dan untuk memulai usaha itu diatur lebih lanjut melalui UU, 2 Peraturan Pemerintah (PP), 4 Peraturan Presiden (Perpres) dan 20 Peraturan Menteri (Permen).
“DPD RI harus bersikap tegas terhadap RUU Omnibus Law. Karena RUU ini menciderai prinsip negara hukum dan negara demokrasi. Disusun secara cepat dan memasuki hampir semua sektor, dan tidak melalui tahapan dalam pembentukan UU, yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Lalu bertentangan juga dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur di pasal 1 angka 1 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. (PPP). Omnibus Law ini juga mempersempit keterbukaan dan ruang partisipasi publik yaitu (minim pelibatan masyarakat dan meminimalkan peran dan keterlibatan serta fungsi legislastif parlemen dalam penyusunan RUU”, ujar Isnur.
Ketua Advokasi YLBI menambakan, RUU Omnibus Law mempunyai pasal yang melemahkan peran Pemerintah Daerah, yaitu pasal 6 ayat 5, pasal 8 ayat 7, pasal 34A ayat (1) RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Selain itu, lanjutnya, pasal 15 ayat (1) RUU Cipta Kerja menarik kewenangan izin pariwisata ke Pusat. Pasal 7 dan Pasal 16 serta sejumlah pasal RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan Daerah ke Pusat terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diatur dalam UU nomor 27 tahun 2017.
“Ada upaya sentralisasi berlebihan dan pelemahan Pemda di sektor tata ruang, pariwisata, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil, pengelolaan limbah B3, pangan dan pendidikan”, tegas Isnur.
Menanggapi pemaparan dari YLBH tersebut, Wakil Ketua Komite I Dr. Abdul Kholik menjelaskan, dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan dan pasal yang masih bermasalah di dalam RUU Cipta Kerja serta dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi Indonesia yang sedang menghadapi Pandemi Covid–19, maka Komite I DPD RI perlu menyatakan kepada Pemerintah dan DPR RI serta Pimpinan DPD RI untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
“RUU Omnibus Law telah menjungkirbalikan seluruh proses pembentukan UU yang selama ini sudah partisipatif di era reformasi. Dari aspek substansi RUU ini sangat beresiko apabila RUU ini tidak dibahas dengan baik terutama proses pembentukannya. UU selalu mempunyai tiga basis, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Di RUU ini banyak masalah pada ketiga basis itu”, ungkap Kholik.
Senada dengan Abdul Kholik, Ketua Komite I DPD RI Dr. Teras Narang sependapat dengan masukan dari pemaparan Ketua YLBHI. Menurutnya, Komite I DPD RI sudah sejak 16 April lalu mengeluarkan pandangan dan pernyataan sikapnya atas RUU Omnibus Law yang sudah dimuat dibeberapa media nasional termasuk dikirimkan secara resmi melalui surat kepada Pimpinan DPD RI agar ada sikap yang tegas secara kelembagaan dari DPD RI.
“Salah satu pandangan Komite I DPD RI ketika itu adalah mencermati bahwa RUU Cipta Kerja banyak memuat frasa yang melakukan perubahan dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. RUU ini akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan/perijinan yang berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah yang merupakan tuntutan reformasi 1998 yang berakibat terjadinya amandemen UUD NRI tahun 1945”, ungkap mantan Gubernur Kalteng dua periode ini.
Di sesi tanya jawab pada RDPU tersebut, anggota Komite I yang berasal dari dapil Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mengatakan RUU Omnibus Law telah mengembalikan sistem politik pemerintahan kita kembali ke era Orde Baru yaitu sentralistik.
“Ini bertentangan dengan konstitusi. Pimpinan DPD RI kurang agresif mensikapi RUU Omnibus Law. Harus ada sikap tegas dari DPD RI”, tegas Filep.
Sementara itu, Abrahan Liyanto yang berasal dari dapil NTT dengan tegas juga meminta pembahasan RUU Omnibus Law ditunda tanpa batas waktu.
“Sementara tunda saja dulu, sambil DPD RI juga menyusun DIM RUU Omnibus Law ini”, ujarnya.
Senator dari dapil Banten, Habib Ali Alwi mengatakan, RUU ini sebaiknya ditarik dari DPR karena momentumnya kurang pas dan saat ini masih dalam suasana pandemi Covid–19.
“Kami di DPD RI jadi bertanya–tanya ada apa ini, kok dipaksakan membahas RUU Omnibus Law di DPR. Sebaiknya ditunda saja dan jangan dipaksakan karena terlalu besar polemiknya”, tegas Habib.
Leonardy Harmainy yang merupakan Senator dari dapil Sumbar mendesak agar pimpinan Komite I DPD RI segera mensurati kembali pimpinan DPD RI.
“Komite I surati kembali pimpinan DPD RI soal pembahasan RUU Omnibus Law agar ditarik dari DPR dengan melihat fenomena yang terjadi di pemerintahan daerah dan dunia usaha. Karena banyak upaya untuk meresentralisasi”, ujarnya.
Sedangkan Lili Amelia, anggota Komite I DPD RI dari dapil Sulsel mengatakan RUU ini berpihak pada pengusaha besar.
“Sepertinya kita akan dibawa kembali oleh Pemerintah Jokowi ini ke sentralisasi masa Orde Baru. RUU ini dipaksakan hanya untuk satu golongan saja yaitu pengusaha besar dan tanpa adanya partisipasi masyarakat”, ungkap Lili.
Maria Goreti yang berasal dari dapil Kalbar dan Abdul Rachman Thaha dari dapil Sulteng menyatakan hal yang senada. Menurutnya, timing pembahasan RUU Omnibus Law tidak pas sehingga sebaiknya sikap DPD RI adalah menolak RUU ini. Karena, lanjutnya, spirit RUU ini adalah sangat berpihak ke pemilik modal.
“Komite I Mendesak Pimpinan DPD RI Menolak RUU Omnibus Law. DPR dan Presiden selalu mengabaikan DPD RI dalam pembahasan RUU ini”, tuntut Maria.
“DPD RI harus dilibatkan dalam pembahasan RUU ini”, tegas Thaha.
Sedangkan Badikenita Sitepu yang berasal dari dapil Sumut menyampaikan perlunya RUU Omnibus Law ini dikaji ulang dan disesuaikan dengan kondisi sekarang serta menunda pembahasannya.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Jafar Alkatiri yang berasal dari Sulut menjelaskan, Komite I DPD RI cenderung menolak RUU ini karena tidak menguntungkan semua pihak.
“Kami meminta pembahasan harus transparan, inklusif dan partisipatif. Selama ini DPD RI tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Omnibus Law. Ini catatan untuk pemerintah dan DPR”, tegas Jafar.
#GP | Ce | dpdri | Red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar