Foto: Ilustrasi diskusi |
JAKARTA.GP- Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Riko Amir mengatakan bahwa ada 5 (lima) langkah yang akan dilakukan sebagai kebijakan strategi pembiayaan tahun 2020 dan di tengah pandemi COVID-19.
Hal tersebut disampaikan pada acara Media Briefing yang dilakukan secara virtual pada hari Jumat (08/05).
Pertama adalah optimalisasi sumber pembiayaan non utang. Hal tersebut dilakukan dengan pemanfaatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) pada tahun 2020 ini sebesar Rp 70,64 triliun, pos dana abadi pemerintah serta dana yang bersumber dari Badan Layanan Umum (BLU).
“Dana-dana ini yang akan kita lihat bersama teman-teman di internal Kementerian Keuangan bersama DJA, DJKN dan DJPB, (dana) mana yang bisa dilakukan untuk optimalisasi,” terang Riko.
Langkah yang kedua adalah fleksibilitas pinjaman tunai. Hal ini dilakukan melalui upsize pinjaman program yang ada saat ini dari development partners baik bilateral maupun multirateral, diantaranya adalah dengan Bank Dunia, ADB, AFD, KfW, JICA, EDCF dan AIIB. Riko memberikan catatan bahwa upsize pinjaman program inipun tidak bisa dilakukan semena-mena atau menaikkan setinggi-tingginya karena ada cyling (batas atas) yang harus dipatuhi baik secara tahunan maupun jangka menengah dari masing-masing development partners, sehingga pinjaman tunai ini bersifat fleksibel namun tetap terukur.
Sebagai langkah ketiga, Riko Amir mengatakan bahwa Pemerintah akan melakukan fleksibilitas dalam penambahan Surat Berharga Negara (SBN). Langkah ini dilakukan dengan cara upsize penerbitan SBN domestic dan SBN valas dengan tetap memperhatikan kondisi pasar keuangan. Lalu, Pemerintah juga akan membuka kesempatan permintaan private placement dari BUMN/Lembaga Aset seperti LPS, BPKH dan lainnya.
Riko mengatakan bahwa dalam melakukan upsize SBN valas, harus dilihat dan dipertimbangkan opportunity atau window-nya sehingga bisa lebih cermat.
Langkah keempat yang akan dilakukan adalah mengutamakan penerbitan SBN domestik melalui mekanisme pasar (termasuk secara ritel).
“Kalau dalam kondisi normal, kita berhenti pada langkah ke-empat. Namun dengan kondisi COVID-19 ini maka ada sumber back up terakhir yaitu langkah kelima dukungan Bank Indonesia. Jadi (dukungan) Bank Indonesia akan masuk ketika langkah satu sampai empat sudah kita lakukan, dan kita lakukan secara terukur,” tambah Riko. Bank Indonesia disebutnya tidak langsung menyerap seluruh pembiayaan, tapi lebih bersifat sebagai last resource.
Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Luky Alfirman mengatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi pandemi COVID-19 yang dipenuhi ketidakpastian. Dalam kondisi tersebut, Pemerintah terus melakukan pemantauan untuk menentukan strategi kebijakan yang terbaik.
“Pemerintah terus memonitor apa yang terjadi, tapi kitapun selalu siap menggunakan instrument APBN secara satu dalam kesatuan utuh dalam hal ini dari sisi penerimaan, dari sisi belanja, dan dari sisi pembiayaan. Itu semua harus selalu dalam satu kesatuan yang utuh,” tukas Luky.
#GP | Ce | Kemenkeu | Nug | Hpy | Nr
Hal tersebut disampaikan pada acara Media Briefing yang dilakukan secara virtual pada hari Jumat (08/05).
Pertama adalah optimalisasi sumber pembiayaan non utang. Hal tersebut dilakukan dengan pemanfaatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) pada tahun 2020 ini sebesar Rp 70,64 triliun, pos dana abadi pemerintah serta dana yang bersumber dari Badan Layanan Umum (BLU).
“Dana-dana ini yang akan kita lihat bersama teman-teman di internal Kementerian Keuangan bersama DJA, DJKN dan DJPB, (dana) mana yang bisa dilakukan untuk optimalisasi,” terang Riko.
Langkah yang kedua adalah fleksibilitas pinjaman tunai. Hal ini dilakukan melalui upsize pinjaman program yang ada saat ini dari development partners baik bilateral maupun multirateral, diantaranya adalah dengan Bank Dunia, ADB, AFD, KfW, JICA, EDCF dan AIIB. Riko memberikan catatan bahwa upsize pinjaman program inipun tidak bisa dilakukan semena-mena atau menaikkan setinggi-tingginya karena ada cyling (batas atas) yang harus dipatuhi baik secara tahunan maupun jangka menengah dari masing-masing development partners, sehingga pinjaman tunai ini bersifat fleksibel namun tetap terukur.
Sebagai langkah ketiga, Riko Amir mengatakan bahwa Pemerintah akan melakukan fleksibilitas dalam penambahan Surat Berharga Negara (SBN). Langkah ini dilakukan dengan cara upsize penerbitan SBN domestic dan SBN valas dengan tetap memperhatikan kondisi pasar keuangan. Lalu, Pemerintah juga akan membuka kesempatan permintaan private placement dari BUMN/Lembaga Aset seperti LPS, BPKH dan lainnya.
Riko mengatakan bahwa dalam melakukan upsize SBN valas, harus dilihat dan dipertimbangkan opportunity atau window-nya sehingga bisa lebih cermat.
Langkah keempat yang akan dilakukan adalah mengutamakan penerbitan SBN domestik melalui mekanisme pasar (termasuk secara ritel).
“Kalau dalam kondisi normal, kita berhenti pada langkah ke-empat. Namun dengan kondisi COVID-19 ini maka ada sumber back up terakhir yaitu langkah kelima dukungan Bank Indonesia. Jadi (dukungan) Bank Indonesia akan masuk ketika langkah satu sampai empat sudah kita lakukan, dan kita lakukan secara terukur,” tambah Riko. Bank Indonesia disebutnya tidak langsung menyerap seluruh pembiayaan, tapi lebih bersifat sebagai last resource.
Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Luky Alfirman mengatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi pandemi COVID-19 yang dipenuhi ketidakpastian. Dalam kondisi tersebut, Pemerintah terus melakukan pemantauan untuk menentukan strategi kebijakan yang terbaik.
“Pemerintah terus memonitor apa yang terjadi, tapi kitapun selalu siap menggunakan instrument APBN secara satu dalam kesatuan utuh dalam hal ini dari sisi penerimaan, dari sisi belanja, dan dari sisi pembiayaan. Itu semua harus selalu dalam satu kesatuan yang utuh,” tukas Luky.
#GP | Ce | Kemenkeu | Nug | Hpy | Nr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar