Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. Foto : Ist/Man
|
JAKARTA.GP- Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia setidaknya telah mengeluarkan tiga kebijakan strategis dalam rangka mengatasi pandemi virus Corona.
Ketiga kebijakan tersebut adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Terkait kebijakan tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyampaikan catatan kritisnya.
Terkait kebijakan tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyampaikan catatan kritisnya.
Pertama, jika Pemerintah berencana melakukan upaya penanganan Covid-19 skala besar melalui penerbitan Perppu 1/2020, dengan nilai belanja mencapai Rp 405 triliun. Dimana sumber pembiayaan utamanya adalah dengan melebarkan defisit yang mencapai di atas 5 persen, maka Pemerintah harus bergerak cepat dan melakukan alokasi belanja yang sesuai dengan kebutuhan.
“Alokasi belanja tersebut bisa dilakukan dengan dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu optimalisasi realokasi anggaran, dimana belanja-belanja yang tidak dibutuhkan dapat dialihkan untuk belanja penanganan dampak wabah Covid-19.
“Alokasi belanja tersebut bisa dilakukan dengan dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu optimalisasi realokasi anggaran, dimana belanja-belanja yang tidak dibutuhkan dapat dialihkan untuk belanja penanganan dampak wabah Covid-19.
Kemudian yang kedua adalah ekspansi fiskal, dengan menambah defisit anggaran sebagai bentuk stimulus perekonomian,” kata Anis dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, Senin (27/4/2020).
Tentang optimalisasi realokasi anggaran, Anis menilai pemerintah perlu mempertimbangkan melakukan efisiensi belanja. Ruang fiskal semakin sempit karena besarnya belanja-belanja wajib (rutin) seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bunga utang, meningkatkan efektivitas dan pengaruh komponen belanja-belanja pemerintah pusat menurut fungsi. Kemudian pos-pos belanja rutin yang tidak diperlukan segera dialihkan kepada pos belanja lain.
Legislator dapil DKI Jakarta I ini berpendapat, ada banyak ruang efisiensi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah.
Tentang optimalisasi realokasi anggaran, Anis menilai pemerintah perlu mempertimbangkan melakukan efisiensi belanja. Ruang fiskal semakin sempit karena besarnya belanja-belanja wajib (rutin) seperti belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bunga utang, meningkatkan efektivitas dan pengaruh komponen belanja-belanja pemerintah pusat menurut fungsi. Kemudian pos-pos belanja rutin yang tidak diperlukan segera dialihkan kepada pos belanja lain.
Legislator dapil DKI Jakarta I ini berpendapat, ada banyak ruang efisiensi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah.
“Misalnya, perjalanan dinas dalam negeri, dan belanja barang non-operasional, yang banyak digunakan untuk honorarium, penyelenggaran administrasi kegiatan di luar kota, paket rapat, dan lainnya. Menurut saya, dalam kondisi wabah seperti sekarang ini, belanja non-operasional saya kira tidak akan banyak bermanfaat,” paparnya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Kemudian, peraih Gelar Doktor Ekonomi Syariah Universitas Airlangga ini juga menyoroti langkah pemerintah yang melakukan ekspansi fiskal.
Kemudian, peraih Gelar Doktor Ekonomi Syariah Universitas Airlangga ini juga menyoroti langkah pemerintah yang melakukan ekspansi fiskal.
Menurutnya, kebijakan ekspansi fiskal benar diperlukan tetapi langkah ini berbiaya tinggi. Padahal hingga saat ini, Pemerintah dinilai masih kesulitan menjaga anggaran dengan baik. Terbukti, realisasi defisit APBN terus mengalami pembengkakan dari target awal yang telah ditetapkan.
Berdasarkan data yang diperolehnya dari Kementerian Keuangan, defisit tahun 2019 mencapai Rp 353 triliun, atau membengkak sebesar 19,2 persen apabila dibandingkan dengan kesepakatan di APBN 2019 yang sebesar Rp 296 triliun atau 1,84 persen PDB.
“Ditambah lagi stagnannya pendapatan negara dikarenakan rendahnya realisasi pendapatan negara berupa shortfall penerimaan perpajakan. Pada tahun 2019 tercatat bahwa realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 84,4 persen dari target. Rendahnya realisasi ini pada dasarnya mengikuti tren melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak selama lima tahun terakhir,” pungkas Anis.
#GP | Ce | DPR | Alw | Es
Berdasarkan data yang diperolehnya dari Kementerian Keuangan, defisit tahun 2019 mencapai Rp 353 triliun, atau membengkak sebesar 19,2 persen apabila dibandingkan dengan kesepakatan di APBN 2019 yang sebesar Rp 296 triliun atau 1,84 persen PDB.
“Ditambah lagi stagnannya pendapatan negara dikarenakan rendahnya realisasi pendapatan negara berupa shortfall penerimaan perpajakan. Pada tahun 2019 tercatat bahwa realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 84,4 persen dari target. Rendahnya realisasi ini pada dasarnya mengikuti tren melambatnya pertumbuhan penerimaan pajak selama lima tahun terakhir,” pungkas Anis.
#GP | Ce | DPR | Alw | Es
Tidak ada komentar:
Posting Komentar