JAKARTA.GP- Staf Khusus (Stafsus) Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono menyampaikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja tujuan penyusunannya yakni untuk memberikan kemudahan perizinan berusaha serta iklim berusaha yang lebih kondusif baik untuk investor besar maupun kecil, menengah dan mikro.
“Jadi kalau ada narasi-narasi yang bilang bahwa ini kan pro pengusaha untuk investor besar saja, enggak. Ini sebetulnya ingin memberikan kemudahan berusaha untuk semua investor baik kelas besar mauapun kecil, menengah sampai mikro,” ujar Stafsus Presiden Dini saat memberikan keterangan kepada pers di ruang rapat Seskab Gedung III lantai 2, Kemensetneg, Provinsi DKI Jakarta, Jumat (21/2).
Omnibus Law, menurut Dini, adalah undang-undang (UU) biasa yang meng-cover beberapa isu, sebagaimana UU lain yang baru efektif perubahannya setelah berlaku sehingga tidak akan terjadi kekosongan peraturan.
“Jadi sebenarnya undang-undang omnibus itu bukan benda undang-undangnya tapi dia itu adalah sifat,” ujarnya. Penyebutan Omnibus Law, menurut Dini, ada 4 yakni perpajakan, cipta lapangan kerja, pemindahan ibu kota negara, dan farmasi. “Kalau yang farmasi ini usulan dari DPR. Jadi memang kita juga enggak tahu karena drafnya masih disiapkan dari DPR,” tambahnya.
Sebagai contoh, lanjut Dini, misalnya undang-undang perpajakan, hanya bicara pajak saja, begitu juga soal tenaga kerja dan lingkungan, hanya berbicara di aspek tersebut. Ini disebut omnibus, sambung Dini, karena dalam undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal spesifik tertentu yang terkait untuk penciptaan lapangan pekerjaan, tenaga kerja, perizinan, perseroan terbatas, lingkungan hidup, jadi semua diatur di dalam satu undang-undang.
“Cara bekerjanya sama. Bahwa pasal-pasal dengan substansi yang sama dari undang-undang yang tadi yang banyak, itu baru akan berubah nanti pada saat Undang-Undang Cipta Kerja ini diketok palu, efektif berlaku,” tambahnya.
Jadi omnibus law itu, sambung Dini, undang-undang biasa tapi isinya heterogen, multi sektor, enggak seperti undang-undang yang dikenal pada umumnya, itu saja. Soal RUU Cipta Kerja ini, menurut Dini, periode pertama presiden kemarin itu menekankan pada pembangunan infrastruktur. Ia menambahkan bahwa untuk periode kedua ini presiden jelas bahwa penekanannya ada pada pembangunan sumber daya manusia dan dari itu juga terkait dengan pertumbuhan ekonomi.
“Nah kenapa sih perlu RUU Cipta Kerja ini? kalau kita lihat dari hasil survei kemarin yang menjadi 2 hal isu besar adalah lapangan pekerjaan dan pengangguran,” tambahnya.
Agenda besar Presiden untuk periode kedua ini, sambung Dini, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berarti menggenjot investasi, investasi baik dari luar maupun dalam negeri.
“Kalau misalnya enggak ada investasi, uang enggak datang ke sini, tidak tercipta lapangan pekerjaan berarti apa, ujung-ujungnya daya beli turun, ujung-ujungnya enggak ada pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Maksud Presiden, sambung Dini, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membuat situasi iklim yang kondusif bagi orang berusaha dan pada akhirnya penciptakan lapangan pekerjaan, meng-absorb pengangguran agar bekerja sekaligus mendorong pertumbuhan UMKM.
“Makanya tadi saya bilang bahwa kemudahan perizinan di sini itu tidak hanya kepada investor besar saja, tetapi juga untuk UMKM. Jadi Presiden ingin bisa tercipta lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan menurunkan angka pengangguran, itu saja,” ujarnya.
Presiden bilang, lanjut Dini, ingin menggenjot investasi dan bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih luas untuk rakyat Indonesia, tapi jangan sampai upah minimum turun.
Kewenangan Daerah dan Amdal
Berbicara soal kewenangan pemerintah daerah, menurut Dini, arahan Presiden bahwa harus hati-hati semua itu dilakukan sesuai prosedur, berdasarkan koridor yang proper, jangan sampai ada undang-undang yang dilangkahi atau dilanggar.
“Kalau ada hal-hal yang perlu disinkronisasikan antara pemerintah pusat dan daerah, ya memang itu harus. Karena kita lihat selama ini juga pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat kadang-kadang terkendala di daerah,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Dini, kepala daerah seharusnya berjalan inline dengan kebijakan pemerintah pusat, supaya apa yang ditetapkan secara nasional bisa berjalan dengan baik dan tidak terkendala di lapangan.
“Tidak ada sama sekali maksud untuk mau mengambil kewenangan daerah, oh mau otoriter, tidak. Bapak semata-mata ingin dimana supaya ini sinkron,” katanya.
Terkait izin amdal, menurut Dini, itu akan tetap perlu ke depannya vuma memang sekarang itu lebih selektif dalam arti dilihat dari risiko, berarti risk space karena memang selama ini kita lihat di praktik untuk industri yang berisiko tinggi sangat bekorelasi dengan penggunaan bahan baku yang berbahaya amdal harus tetap.
“Tapi selama ini amdal itu jadi memberatkan pengusaha karena sebenarnya sektornya itu sama sekali enggak berbahaya, enggak ada hubungannya tapi diwajibkan untuk membuat dokumen ini yang harganya enggak murah,” ujarnya.
Jadi memang dilihat dari fakta itu, lanjut Dini, lebih penting untuk monitoring, evaluasi, pemantauan kan dari waktu ke waktu, sehingga di awal dikasih tahu apa yang tidak boleh dilakukan, harus memperhatikan A, B, C, D, E, kemudian ada monitoring/pengecekan berkala.
“Kalau ternyata melanggar diberikan sanksi, sampai melawan terus, (maka) dicabut izinnya. Jadi lebih begitu pendekatannya, bukan berarti sekarang bebas tidak perlu memperhatikan lingkungan, enggak begitu,” tandasnya.
Di akhir penjelasan, Dini menegaskan kembali untuk proses Amdal itu dokumen untuk industri-industri yang memang berisiko tinggi, menghasilkan atau menggunakan bahan baku yang bebahaya. “Tapi kalau memang dianggap rendah ya tidak perlu di awal, dia hanya perlu dikasih guidelines apa saja yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilakukan dan kemudian dimonitor,” pungkasnya.
#GP | CE | setkab |FID | EN.
“Jadi kalau ada narasi-narasi yang bilang bahwa ini kan pro pengusaha untuk investor besar saja, enggak. Ini sebetulnya ingin memberikan kemudahan berusaha untuk semua investor baik kelas besar mauapun kecil, menengah sampai mikro,” ujar Stafsus Presiden Dini saat memberikan keterangan kepada pers di ruang rapat Seskab Gedung III lantai 2, Kemensetneg, Provinsi DKI Jakarta, Jumat (21/2).
Omnibus Law, menurut Dini, adalah undang-undang (UU) biasa yang meng-cover beberapa isu, sebagaimana UU lain yang baru efektif perubahannya setelah berlaku sehingga tidak akan terjadi kekosongan peraturan.
“Jadi sebenarnya undang-undang omnibus itu bukan benda undang-undangnya tapi dia itu adalah sifat,” ujarnya. Penyebutan Omnibus Law, menurut Dini, ada 4 yakni perpajakan, cipta lapangan kerja, pemindahan ibu kota negara, dan farmasi. “Kalau yang farmasi ini usulan dari DPR. Jadi memang kita juga enggak tahu karena drafnya masih disiapkan dari DPR,” tambahnya.
Sebagai contoh, lanjut Dini, misalnya undang-undang perpajakan, hanya bicara pajak saja, begitu juga soal tenaga kerja dan lingkungan, hanya berbicara di aspek tersebut. Ini disebut omnibus, sambung Dini, karena dalam undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal spesifik tertentu yang terkait untuk penciptaan lapangan pekerjaan, tenaga kerja, perizinan, perseroan terbatas, lingkungan hidup, jadi semua diatur di dalam satu undang-undang.
“Cara bekerjanya sama. Bahwa pasal-pasal dengan substansi yang sama dari undang-undang yang tadi yang banyak, itu baru akan berubah nanti pada saat Undang-Undang Cipta Kerja ini diketok palu, efektif berlaku,” tambahnya.
Jadi omnibus law itu, sambung Dini, undang-undang biasa tapi isinya heterogen, multi sektor, enggak seperti undang-undang yang dikenal pada umumnya, itu saja. Soal RUU Cipta Kerja ini, menurut Dini, periode pertama presiden kemarin itu menekankan pada pembangunan infrastruktur. Ia menambahkan bahwa untuk periode kedua ini presiden jelas bahwa penekanannya ada pada pembangunan sumber daya manusia dan dari itu juga terkait dengan pertumbuhan ekonomi.
“Nah kenapa sih perlu RUU Cipta Kerja ini? kalau kita lihat dari hasil survei kemarin yang menjadi 2 hal isu besar adalah lapangan pekerjaan dan pengangguran,” tambahnya.
Agenda besar Presiden untuk periode kedua ini, sambung Dini, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berarti menggenjot investasi, investasi baik dari luar maupun dalam negeri.
“Kalau misalnya enggak ada investasi, uang enggak datang ke sini, tidak tercipta lapangan pekerjaan berarti apa, ujung-ujungnya daya beli turun, ujung-ujungnya enggak ada pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Maksud Presiden, sambung Dini, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membuat situasi iklim yang kondusif bagi orang berusaha dan pada akhirnya penciptakan lapangan pekerjaan, meng-absorb pengangguran agar bekerja sekaligus mendorong pertumbuhan UMKM.
“Makanya tadi saya bilang bahwa kemudahan perizinan di sini itu tidak hanya kepada investor besar saja, tetapi juga untuk UMKM. Jadi Presiden ingin bisa tercipta lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan menurunkan angka pengangguran, itu saja,” ujarnya.
Presiden bilang, lanjut Dini, ingin menggenjot investasi dan bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih luas untuk rakyat Indonesia, tapi jangan sampai upah minimum turun.
Kewenangan Daerah dan Amdal
Berbicara soal kewenangan pemerintah daerah, menurut Dini, arahan Presiden bahwa harus hati-hati semua itu dilakukan sesuai prosedur, berdasarkan koridor yang proper, jangan sampai ada undang-undang yang dilangkahi atau dilanggar.
“Kalau ada hal-hal yang perlu disinkronisasikan antara pemerintah pusat dan daerah, ya memang itu harus. Karena kita lihat selama ini juga pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat kadang-kadang terkendala di daerah,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Dini, kepala daerah seharusnya berjalan inline dengan kebijakan pemerintah pusat, supaya apa yang ditetapkan secara nasional bisa berjalan dengan baik dan tidak terkendala di lapangan.
“Tidak ada sama sekali maksud untuk mau mengambil kewenangan daerah, oh mau otoriter, tidak. Bapak semata-mata ingin dimana supaya ini sinkron,” katanya.
Terkait izin amdal, menurut Dini, itu akan tetap perlu ke depannya vuma memang sekarang itu lebih selektif dalam arti dilihat dari risiko, berarti risk space karena memang selama ini kita lihat di praktik untuk industri yang berisiko tinggi sangat bekorelasi dengan penggunaan bahan baku yang berbahaya amdal harus tetap.
“Tapi selama ini amdal itu jadi memberatkan pengusaha karena sebenarnya sektornya itu sama sekali enggak berbahaya, enggak ada hubungannya tapi diwajibkan untuk membuat dokumen ini yang harganya enggak murah,” ujarnya.
Jadi memang dilihat dari fakta itu, lanjut Dini, lebih penting untuk monitoring, evaluasi, pemantauan kan dari waktu ke waktu, sehingga di awal dikasih tahu apa yang tidak boleh dilakukan, harus memperhatikan A, B, C, D, E, kemudian ada monitoring/pengecekan berkala.
“Kalau ternyata melanggar diberikan sanksi, sampai melawan terus, (maka) dicabut izinnya. Jadi lebih begitu pendekatannya, bukan berarti sekarang bebas tidak perlu memperhatikan lingkungan, enggak begitu,” tandasnya.
Di akhir penjelasan, Dini menegaskan kembali untuk proses Amdal itu dokumen untuk industri-industri yang memang berisiko tinggi, menghasilkan atau menggunakan bahan baku yang bebahaya. “Tapi kalau memang dianggap rendah ya tidak perlu di awal, dia hanya perlu dikasih guidelines apa saja yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilakukan dan kemudian dimonitor,” pungkasnya.
#GP | CE | setkab |FID | EN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar