Oleh: Desi Kirana
GOPARLEMENT.COM- “Ga, usah ajak Nabil kenapa sih, Ma? Kan bisa ditinggal sama neneknya?” Bang Abrar menatapku tajam.
“Memang kenapa kalau aku ajak Nabil. Bukan kamu juga yang menggendong?” balasku sewot.
Kulihat wajah Bang Abrar berubah tegang, rahangnya mengeras. Sekali hantaman kaki ia meninggalkanku yang masih merapikan jilbab.
“Bang!” panggilku keras.
Dia menghentikan langkah persis di ambang pintu. Menoleh dengan tatapan mata yang masih menggambarkan emosi.
“Kalau kamu ajak Nabil, biar aku sendiri yang pergi!”
“Bang! Nabil itu anak kamu lho, Bang! Darah daging kamu! Kamu malu karena Nabil idiot?” Pelupuk mataku mulai digenangi Air. Dadaku serasa diremas oleh perkataan ayah dari anakku sendiri.
“Tapi ini pesta kantor, Niara! Banyak orang penting!” jawabnya dengan nada mulai melemah.
“Jadi karena itu kamu tidak mau membawa Nabil? Bang, seharusnya kita sebagai orang tua lebih memperhatikan Nabil, bukan ikut mendiskriminasi anak sendiri! Bagaimana ia bisa hidup di tengah masyarakat, sementara orang tuanya sendiri tidak mendukung kesembuhannya?” Air mataku mulai berjatuhan.
Rasa kesal dan marah bercampur dalam dada, sehingga aku Sudah tidak bisa mengontrol diri sendiri.
“Biasanya kan aku ajak main, Niara?” Pertanyaan yang semakin menyakitkan di telingaku.
Selama ini jangankan main, menggendong saja laki-laki ganteng itu tidak mau, kecuali terpaksa.
“Terserah Abang! Mau pergi sendiri silahkan!” Kususut air mata yang luruh ke pipi. Memendam sakit dengan helaan napas berat.
**
Setelah Bang Abrar pergi, aku segera ke kamar Nabil. Anak itu pasti sedih karena tidak jadi pergi. Padahal sejak subuh dia sudah minta mandi. Sebab semalam aku memberi tahunya pagi ini kami pergi ke pesta. Wajah datar dan mata bulatnya tampak ceria sekali saat menerima kabar itu. Tapi kenyataan pagi ini pasti akan membuat bocah seribu wajah buah hatiku itu terluka lagi.
“Nabil ...!” sapaku sambil menguak pintu kamar.
Kosong, anakku kemana? Rasa cemas mulai menghinggapi jiwa. Usia Nabil memang sudah delapan tahun, tapi karena Down Syndrome tingkahnya tak ubah anak lima tahun.
Berbagai pertanyaan hinggap dalam kepala, apa jangan-jangan anak itu naik ke mobil ayahnya seperti waktu dulu? Tapi tak mungkin, Bang Abrar tadi pagi tidak memanaskan mesin mobil.
Sebenarnya bukan hanya aku yang dikaruniai anak seperti Nabil, banyak ibu lain yang bernasib sama denganku di luar sana. Sayangnya suamiku tidak terima dengan kekurangan anak sendiri. Padahal Nabil seperti itu, mungkin karena ulah Bang Abrar juga.
Terbayang perbuatan suamiku, air mata kembali jatuh. Saat aku hamil Nabil, Bang Abrar pernah bertingkah, selingkuh dengan sekretarisnya sendiri. Tapi karena desakan keluarga aku memaafkan kelakuan suamiku yang sebenarnya sudah di luar batas.
Kesedihan yang kualami, kecewa dan sakit hati melihat kelakuan Bang Abrar membuatku menyepelekan kehamilanku kala itu. Asupan gizi untuk anak yang dalam perutku tidak lagi seimbang, bahkan aku pernah meminum obat tidur tidak sesuai anjuran dokter. Salah satu penyebab Nabil harus mengalami keterbelakangan mental seperti itu.
Langkahku terasa berat menyusuri gang sempit yang biasa kulalui bersama Nabil. Semoga anak itu tidak pergi jauh. Mungkin tadi ia mengejar ayahnya, seperti waktu dulu pernah ia lakukan. Saat Bang Abrar mau pergi ke luar kota.
Ketika sampai di ujung gang yang berhadapan dengan kali, mataku menyipit. Dada langsung bergemuruh, rasa tidak enak menyergap. Banyak warga berkerumun di sana dengan wajah cemas.
“Bu Niara!” Pak RW langsung menghampiri saat melihatku bergegas ke dekat kerumunan.
“Nabil, Bu ...!”
Aku terkejut dan menyibak kerumunan warga. Melihat tubuhku yang gemetar, beberapa orang warga memegang lenganku. Nabil ditemukan warga di dalam kali. Ia dibaringkan di atas selembar kain milik warga yang rumahnya dekat tempat kejadian.
“Bunda ...!” Suaranya terdengar lirih dan menyayat hati.
Kupeluk tubuh basah Nabil, dengan air mata yang tak henti mengucur.
“Kita bawa ke rumah sakit saja, Bu!” saran Pak RW.
Aku pasrah dan mengangguk, tidak ada jalan lain menyelamatkan Nabil.
Saat dalam mobil Pak RW, aku memangku tubuh Nabil yang terasa mulai dingin.
“Bund ...,” lirihnya.
“Iya, sayang.”
“Maap, Bibin ngejar ayah,” ucapnya terbata-bata.
Aku tak mampu menjawab, selain merapatkan pelukan.
“Maapkan Bibin, tayang Nda ...,” ucapnya di telingaku.
Pelan, sepekan kepergiannya dalam pelukanku.
**
“Puas kamu? Puas?” Hardikku saat melihat Bang Abrar memeluk tubuh beku Nabil.
“Maafkan ayah, Nak! Maafkan ayah!” tangis Bang Abrar pecah.
“Semua gara-gara kamu!” teriakku yang membuat semua mata di rumahku menangis haru.
Andai saja tadi Bang Abrar tidak egois, mungkin Nabil masih bersamaku bermain lego, membuat gambar di ruang ini. Semua ulah kamu, Bang. Aku merutuki sikap suamiku yang maunya menang sendiri.
Namun, aku sadar. Ini adalah takdir, Nabil lebih dicintai Allah, melebihi cintaku padanya. Dia anak surga, semoga kelak dia yang menjemputku dengan senyum dan menggandeng tanganku memasuki surga abadi.
#GP | RED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar