Agam (SUMBAR). GP- Awal tahun kemarin harga rokok benar-benar naik. Kenaikan harga rokok tersebut tentu saja jadi pembicaraan dimana-mana bagi 'penikmat' rokok. Misalnya saja, mengatakan ada bagusnya juga harga rokok naik sebab jika tidak mampu beli otomatis akan berhenti merokok.
"Enggak apa-apa harga rokok naik, malah bagi saya lebih bagus. Jika saya tidak mampu beli, pasti akan berhenti merokok," kata salah seorang pegawai sebuah rumah sakit di Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar), Ahmad Yani saat berbincang bersama media ini di salah satu warkop, Kamis (9/1).
Tempat berbeda di Bukittinggi, kenaikan rokok di pasaran malah membuat sebagian 'penikmat' rokok mengingatkan pemerintah agar mengawasi peredaran rokok ilegal alias rokok tanpa pita cukai.
"Tentunya masyarakat 'penikmat' rokok akan beralih membeli gulungan tembakau lebih murah yang masuk dari luar tanpa pita cukai. Bahkan rasa rokok-rokok tersebut mungkin saja tak kalah dengan rokok berbandrol pabrikan Indonesia," kata Andy, salah seorang "penikmat' rokok yang mengaku bisa menghabiskan satu hingga dua bungkus rokok berpita cukai seharga Rp 21 ribu.
"Dan dengan masuknya (beredar) rokok-rokok dari luar negeri atau rokok tanpa pita cukai (polos) mengakibatkan pemasukan negara akan berkurang serta tentunya perusahaan rokok legal akan mengalami kebangkuratan. Mengatasi hal tersebut, pemerintah harus memahami juga," tambahnya.
Sementara itu, seorang pedagang rokok glosiran disalah satu pasar di Kecamatan Banuhampu, Agam, Al mengatakan kenaikan rokok saat ini baru permulaaan.
"Kenaikan rokok saat ini baru permulaan, seiring waktu nantinya harga rokok semakin melambung tinggi," sebutnya.
Baca juga : https://www.goparlement.com/2019/12/harga-rokok-naik-sekian-persen-masuk-ke.html
Baca juga : https://www.goparlement.com/2019/12/harga-rokok-naik-sekian-persen-masuk-ke.html
Sebagaimana diketahui pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/ PMK.010/ 2019 yakni tentang tarif cukai hasil tembakau (CHT). Kementrian itu menetapkan CHT sebesar 23 persen dimana akhirnya berimbas pada naiknya harga jual eceran (HJE) yakni sebesar 35 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menjelaskan, kenaikan cukai rokok berdasarkan tiga pertimbangan, yakni guna mengurangi konsumsi, mengatur industri dan meningkatkan penerimaan negara.
Kata dia, dilihat dari sisi konsumsi, ada tren yang perlu menjadi perhatian pemerintah, diantaranya jumlah prevalensi penghisap rokok meningkat. Dari sisi perempuan dan anak-anak serta remaja lanjutnya, prevalensi 'penikmat' rokok naik dari 7 persen menjadi 9 persen.
"Perempuan berawal hanya 2,5 persen, kini meningkat menjadi 4,8 persen. Oleh sebab itu perlu perhatian bagaimana menggunakan cukai guna mengurangi tren kenaikan merokok tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, kata Menkeu pemerintah pun mempertimbangkan kenaikan tarif cukai dan harga jual terhadap potensi peredaran rokok ilegal.
"Kenaikan harga yang cukup tinggi dapat saja memicu produksi rokok ilegal. Namun dengan kenaikan tarif cukai 23 persen dan harga jual eceran 35 persen per Januari 2020, tidak akan memicu peredaran produk rokok ilegal secara luas," tegasnya.
# GP |AN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar