Sawahlunto(SUMBAR).GP- Bahasa jurnalistik masih menjadi kendala terberat bagi Peningkatan kualitas karya jurnalistik di media cetak dan online, khususnya kendala dalam penyajiannya. Utamanya, kendala yang sering kita jumpai, dalam pemakaian atau penggunaan Bahasa Indonesia Jurnalistik.
Padahal kita ketahui, ibarat alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI, bahasa jurnalistik adalah “alutsista” jurnalis. Karena itu, mutunya menunjukkan kualitas karya jurnalistik, sekaligus “kelas” jurnalisnya.
Kendala berikutnya adalah, kelayakan berita. Terutama dalam bentuk berita langsung atau berita lurus, lazim disebut straight news. Contoh, lomba balap karung antar-RT tak layak dijadikan berita. Bobot nilai berita dari aspek manfaat warta, bagi khalayak komunikan media (pembaca) sangat kurang, bahkan nihil.
Pemahaman terhadap hukum positif (undang-undang) dalam karya jurnalistik juga masih perlu perhatian serius dari kita. Karena masih ada kesan, turut serta “mengadili” lewat pemberitaan (trial by the press). Bahaya bagi jurnalis dan medianya, bila karya jurnalistik dimaksud memenuhi unsur-unsur pasal suatu delik (tindak pidana).
Etika-Estetika
Bahasa jurnalistik adalah bahasa Indonesia yang digunakan pewarta (jurnalis, wartawan) dalam menyusun naskah berita berciri khas bahasa media massa. Ciri khas dimaksud: (1) singkat, (2) lugas, (3) logis, (4) taat asas kata baku, (5) mudah dicerna dan dipahami, (6) enak dibaca.
Ciri khas ke-1 hingga ke-5 merupakan etika (kaidah tatakrama) berbahasa jurnalistik. Ciri khas ke-6, enak dibaca, merupakan estetika (kaidah keindahan). Tak pelak, jurnalis wajib memiliki kekayaan perbendaharaan kata (kosakata). Wajib pula kaya idiom, yaitu ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frase).
Berbahasa singkat artinya tidak bertele-tele, tapi tidak mengubah makna kata dalam kalimat. Contoh: Bupati Sijunjung pada hari Jumat, tanggal 13 Desember 2019, meresmikan jalan….
Kata “hari” dan “tanggal” tidak perlu ditulis, karena sudah pasti dan jelas “Jumat” nama hari dan “13 Desember 2019” itu tanggal. Kata sambung “pada” pun tidak perlu dituliskan.
Lugas artinya langsung menukik pada sasaran; tidak membiaskan topik. Contoh: Proyek Nasional Agraria (Prona) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah, agar masyarakat bisa menjaminkan sertifikat tanahnya di bank bila butuh uang. Kalimat “agar masyarakat bisa menjaminkan sertifikat tanah di bank” itu bias topik. Mencampur-aduk aspek hukum dengan aspek ekonomi.
Logis berarti masuk akal dan faktual. Contoh: Massa warga Silungkang yang marah bergerak ke Kantor Kecamatan Silungkang. Tidak logis, karena “Kecamatan” adalah sebutan wilayah (elemen where), bukan manusia (elemen who) atau jabatan elemen who. Logisnya, Kantor Camat Silungkang.
Bahasa yang digunakan, harus mudah dicerna dan dipahami, artinya secara sepintas (singkat) kandungan maksud dan motif dalam kalimat bisa dimengerti oleh pembaca. Contoh : Eka Wahyu sebagai pimpinan legislatif dengan jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Sawahlunto, berkomitmen melaksanakan… . Seharusnya cukup ditulis : Ketua DPRD Kota Sawahlunto, Eka Wahyu, berkomitmen melaksanakan…
Taat asas kata baku artinya selalu menggunakan kata-kata baku. Contoh : sekadar, imbauan, konkret, atlet, antre, kuitansi, kualitas, apotek, tahu, diubah.
Kata-kata baku tersebut masih saja “diperkosa” menjadi tidak baku: sekedar, himbauan, konkrit, atlit, antri, kwitansi, kwalitas, apotik, tau, dirubah.
Hal yang juga parah terjadi pada kaidah penulisan kata depan, awalan dan kata sambung. Bahkan, pelanggaran kaidah tersebut mencolok sejak di kalimat judul berita, kemudian diulang-ulang dalam tubuh berita.
Contoh kalimat judul:
Presiden RI Akan Segera Di Lantik Pada Desember Ini.
Kaidah yang dilanggar : kata sambung “akan” dan “pada” ditulis dengan awal huruf kapital ; awalan “Di” diposisikan menjadi kata depan (dipisah dari kata dasarnya, “lantik“).
Ada pula kerancuan makna dan arti. Misal, penulisan kata orangtua (dirangkai, satu kata) dan orang tua (dipisah, dua kata), tapi maknanya disamakan. Padahal, orangtua (satu kata) berarti ayah dan ibu ; sedangkan orang tua (dua kata) berarti manusia lanjut usia.
Terakhir yang sangat jelas kesalahannya, kalimat judul cenderung panjang, lebih dari delapan kata. Sebenarnya bisa disiasati memakai sub-judul atau anak judul, lazim disebut kickers. Kalimat dalam tubuh berita pun banyak yang sangat panjang, lebih dari 20 kata per kalimat. Dampaknya menyulitkan pembaca mencerna dan memahami makna kalimat. Akibatnya jauh meninggalkan kaidah estetika. Pasti, menjadi tidak enak dibaca.
Kelayakan-layak berita:
Kelayakan berita atau kelayakan publikasi, perlu perhatian serius. Setiap institusi media massa harus memiliki kelayakan publikasi sebagai parameter atau “kiblat” pemberitaan.
Hal tersebut merupakan keniscayaan, di dunia publisistik praktika (jurnalistik). Pasalnya, tidak semua peristiwa layak diberitakan. Tidak semua orang layak diwawancarai sebagai narasumber. Tidak semua peristiwa dan narasumber bermuatan (memiliki) nilai berita yang layak untuk publikasi.
Bertumpu pada hal tersebut di atas, maka sekurang-kurangnya ada tiga kelayakan publiksi atau kelayakan berita atas suatu peristiwa. Rincinya, (1) kelayakan peristiwa, (2) kelayakan narasumber, (3) kelayakan bobot nilai berita.
Parameter untuk memastikan kelayakan publikasi pun harus dibangun:
Sekurang-kurangnya ada empat parameter. Rincinya, (1) nilai kadar aktualitas yang terkandung dalam elemen when atas what, (2) proximity atau jarak elemen where atas what, who dan komunikan utama media, (3) kelengkapan elemen bahan berita (5W + H) dan (4) kegunan atau manfaat berita bagi sebanyak-banyaknya komunikan media.
Perihal pemahaman terhadap hukum positif (undang-undang), secara empirik hanya butuh membiasakan diri, gemar membaca. Diantaranya, membaca undang-undang. Hal yang sangat penting bagi seorang jurnalis adalah harus “melek” (memahami) sejumlah hukum positif. Tidak hanya UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, dan UU RI No. 11/ Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Jurnalis idealnya juga tidak hanya mafhum akan Kode Etik Jurnalistik. Tetapi wajib memahami, kandungan isi UUD 1945. Mafhum pula UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai “pondasi” hukum publik (hukum pidana).
Lebih ideal lagi, bila seorang jurnalis juga memahami kandungan isi sejumlah undang-undang yang terkait dengan hak publik. Sebut saja, antara lain, UU RI No. 14/ Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Perlu diingat, jurnalis bukan sekadar penjaga gawang aspirasi publik. Ia pekerja intelektual yang wajib menghadirkan pencerahan pada publik lewat informasi berkualitas tinggi. Mencerdaskan khalayak komunikan, medianya.
#GP | Rep | FD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar