JAKARTA.GP- Komite III DPD RI berpandangan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan berada di bawah garis kemiskinan. Tidak hanya itu, tindakan diskriminasi dan marginalisasi masih kerap menimpa para penyandang disabilitas.
“Ini dipengaruhi oleh persepsi dan pemikiran tradisional yang mengangap penyandang disabilitas sebagai aib atau kutukan. Mirisnya, stigma ini tidak hanya muncul pada masyarakat awam tetapi juga kelompok intelektual dan pemegang kekuasaan,” ucap Ketua Komite III DPD RI Bambang Sutrisno di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (22/10).
Pada proses pendidikan formal misalnya, lanjutnya, penyandang disabilitas harus terisolasi dalam lembaga pendidikan khusus yang disebut sekolah luar biasa. Demikian pula pada bidang ketenagakerjaan, baru 25 persen penyandang disabilitas yang bisa bekerja baik di sektor formal dan informal.
“Dari jumlah tersebut, sekitar 39.9 persen penyandang disabilitas bekerja sebagai petani, 32.1 persen sebagai buruh, 15.1 persen di sektor jasa dan sisanya di perusahaan swasta maupun wiraswasta,” kata senator asal Jawa Tengah itu.
Selain itu, beberapa pemberi kerja enggan untuk memberikan peluang kerja pada penyandang disabilitas dengan alasan ketidakcakapan karena ketidaksempurnaan fisiknya. Padahal terdapat pada Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas terdapat norma hukum yang mewajibkan perusahaan swasta memperkerjakan para difabel dengan kuota minimal 1 persen dari total karyawan, sedangkan instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta untuk memenuhi kuota difabel sebesar 2 persen.
“Adapun pada akses terhadap sarana dan prasarana umum, pengabaian terhadap keberadaan penyandang disabilitas terlihat nyata dengan tidak adanya atau minimnya sarana dan prasarana umum yang ramah terhadap penyandang disabilitas,” tegas Bambang.
Di kesempatan yang sama, Anggota Komite III DKI Jakarta Silviana Murni menjelaskan setiap perusahaan perlu mengimplementasikan Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas baik swasta atau BUMN. “Ini masukkan buat kita nanti bahwa Komite III DPD RI akan menindaklanjuti itu. Sehingga nanti penyandang disabilitas bisa mendapatkan haknya sama seperti yang lain,” ucapnya.
Silviana juga mengajak seluruh stakeholder menghilangkan stigma buruk bagi penyandang disabilitas. Untuk itu perlu sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah menghilangkan stigma itu. “Kita perlu bersinergi artinya antara pusat, daerah, dan komunitas disabilitas untuk menghilangkan stigma buruk kepada penyandang disabilitas,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Niaga PT. KAI Dody Budiawan mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan layanan secara maksimal untuk penyandang disabilitas. Menurutnya, ada dua layanan baik di stasiun dan kereta. “Di setiap stasiun kita telah menyiapkan kursi roda. Untuk di kereta, lebih banyak penyandang disabilitas yang mandiri. Namun yang paling banyak pelayanan kepada lansia,” paparnya.
Selain itu, Dody menambahkan bahwa di setiap stasiun telah disiapkan petugas yang siap membantu dan melayani penyandang disabilitas dan lansia. Pihaknya juga telah memberikan perhatian khusus atau berbahaya seperti tangga. “Seperti Stasiun Gambir karena tangganya sangat tinggi maka kini kami telah gunakan lift. Area stasiun kita juga khususkan priority seat. Itu pelayan di stasiun,” lontarnya.
Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufron Sakaril mengatakan meski UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas telah diketok tiga tahun lalu. Namun UU tersebut belum sesuai harapan walaupun komitmen pemerintah sudah tinggi terhadap penyandang disabilita.
“Faktanya, di lapangan kami masih ada kasus seperti beberapa waktu viral. Dimana dokter gigi yang ditolak menjadi PNS. Ke depan saya harap UU Penyandang Disabilitas bisa diterapkan dengan baik,” kata Gufron.
#GP | CE | dpd.go.id
“Ini dipengaruhi oleh persepsi dan pemikiran tradisional yang mengangap penyandang disabilitas sebagai aib atau kutukan. Mirisnya, stigma ini tidak hanya muncul pada masyarakat awam tetapi juga kelompok intelektual dan pemegang kekuasaan,” ucap Ketua Komite III DPD RI Bambang Sutrisno di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (22/10).
Pada proses pendidikan formal misalnya, lanjutnya, penyandang disabilitas harus terisolasi dalam lembaga pendidikan khusus yang disebut sekolah luar biasa. Demikian pula pada bidang ketenagakerjaan, baru 25 persen penyandang disabilitas yang bisa bekerja baik di sektor formal dan informal.
“Dari jumlah tersebut, sekitar 39.9 persen penyandang disabilitas bekerja sebagai petani, 32.1 persen sebagai buruh, 15.1 persen di sektor jasa dan sisanya di perusahaan swasta maupun wiraswasta,” kata senator asal Jawa Tengah itu.
Selain itu, beberapa pemberi kerja enggan untuk memberikan peluang kerja pada penyandang disabilitas dengan alasan ketidakcakapan karena ketidaksempurnaan fisiknya. Padahal terdapat pada Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas terdapat norma hukum yang mewajibkan perusahaan swasta memperkerjakan para difabel dengan kuota minimal 1 persen dari total karyawan, sedangkan instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta untuk memenuhi kuota difabel sebesar 2 persen.
“Adapun pada akses terhadap sarana dan prasarana umum, pengabaian terhadap keberadaan penyandang disabilitas terlihat nyata dengan tidak adanya atau minimnya sarana dan prasarana umum yang ramah terhadap penyandang disabilitas,” tegas Bambang.
Di kesempatan yang sama, Anggota Komite III DKI Jakarta Silviana Murni menjelaskan setiap perusahaan perlu mengimplementasikan Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas baik swasta atau BUMN. “Ini masukkan buat kita nanti bahwa Komite III DPD RI akan menindaklanjuti itu. Sehingga nanti penyandang disabilitas bisa mendapatkan haknya sama seperti yang lain,” ucapnya.
Silviana juga mengajak seluruh stakeholder menghilangkan stigma buruk bagi penyandang disabilitas. Untuk itu perlu sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah menghilangkan stigma itu. “Kita perlu bersinergi artinya antara pusat, daerah, dan komunitas disabilitas untuk menghilangkan stigma buruk kepada penyandang disabilitas,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Niaga PT. KAI Dody Budiawan mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan layanan secara maksimal untuk penyandang disabilitas. Menurutnya, ada dua layanan baik di stasiun dan kereta. “Di setiap stasiun kita telah menyiapkan kursi roda. Untuk di kereta, lebih banyak penyandang disabilitas yang mandiri. Namun yang paling banyak pelayanan kepada lansia,” paparnya.
Selain itu, Dody menambahkan bahwa di setiap stasiun telah disiapkan petugas yang siap membantu dan melayani penyandang disabilitas dan lansia. Pihaknya juga telah memberikan perhatian khusus atau berbahaya seperti tangga. “Seperti Stasiun Gambir karena tangganya sangat tinggi maka kini kami telah gunakan lift. Area stasiun kita juga khususkan priority seat. Itu pelayan di stasiun,” lontarnya.
Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufron Sakaril mengatakan meski UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas telah diketok tiga tahun lalu. Namun UU tersebut belum sesuai harapan walaupun komitmen pemerintah sudah tinggi terhadap penyandang disabilita.
“Faktanya, di lapangan kami masih ada kasus seperti beberapa waktu viral. Dimana dokter gigi yang ditolak menjadi PNS. Ke depan saya harap UU Penyandang Disabilitas bisa diterapkan dengan baik,” kata Gufron.
#GP | CE | dpd.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar