Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah Foto : Sofyan/mr |
Palembang(SUMSEL).GP- Sektor ekonomi kreatif (ekraf) Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Namun, produk dan jasa yang dihasilkan pelaku ekraf harus bersaing dengan barang-barang impor. Melalui Rancangan Undang-Undang Ekonomi Kreatif (RUU Ekraf) yang saat ini sedang disusun Komisi X DPR RI, diharapkan dapat membentuk ekosistem ekraf dari hulu sampai hilir. Sehingga dapat mendukung dan melindungi pelaku ekraf dalam mengembangkan kreasinya.
“Ekosistem harus benar-benar dilindungi, mulai dari sistem pendidikan, penyediaan bahan baku, sampai pada ketika mereka kreativitas. Pelaku ekraf juga perlu didukung untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dengan HKI, pengembangan ekraf bisa lebih luas lagi,” kata Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR RI menyerap masukan RUU Ekraf di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (28/5/2019).
Dalam pertemuan yang juga dihadiri jajaran Pemerintah Kota Palembang, civitas akademika dan pelaku ekraf itu, Ledia menekankan, untuk melindungi pelaku ekraf dalam negeri, maka harus ada keberpihakan regulasi. Seperti penyediaan bahan baku, harus dari dalam negeri. Regulasi yang ada tidak boleh membela produk impor dibanding produk dalam negeri. Keberpihakan itu juga perlu diberikan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi UKM.
“Jadi sepanjang tidak ada link and match di antara kementerian dan lembaga ini, maka akan menjadi masalah. Karena mereka tidak bisa mengaitkan. Bagaimana bisa berkembang, bagaimana mereka mengantisipasi jika ada penimbunan, atau bahan-bahan yang diblok, dan seterusnya. Atau ketika produk ekraf ini dikirim ke luar negeri, ternyata tiba-tiba negara tujuannya ada perubahan regulasi, tentu akan menjadi masalah. Komunikasi dan koordinasi harus kuat untuk membangun ekosistem ekraf itu,” tegas Ledia.
Menyinggung permodalan yang kerap dikeluhkan pelaku ekraf, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan, beberapa skema bantuan permodalan sangat dimungkinkan, bahkan tanpa adanya agunan. Namun ia menekankan, kendati bantuan modal itu tanpa agunan, utamanya harus ada pendampingan. Jika pelaku ekraf mendapatkan bantuan modal tanpa agunan, dengan adanya pendampingan dan pembentukan kelompok, maka akan lebih memudahkan.
“Sehingga memastikan mereka akan melakukan pengembalian pada pinjamannya. Karena statusnya pinjaman, maka harus ada pengembalian. Jika diberikan hibah, maka hibahnya harus diperhatikan, memungkinkankah untuk segera diselesaikan, termasuk pendampingan agar modal itu tidak ‘kemakan’. Kalau modalnya ‘kemakan’ kan tidak bisa dikembangkan, dan pinjaman tidak bisa dikembalikan. Jadi, pendampingan dalam pemberian bantuan keuangan harus disertai dengan pendampingan,” tandas Ledia.
Politisi dapil Jawa Barat I itu optimis, ke depan sektor ekraf akan memberikan nilai tambah, sehingga memberikan pendapatan bagi pelakunya, bahkan hingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan devisa negara. Namun sebaliknya, jika tidak mendapat proteksi dan dukungan dari pemerintah, justru malah akan menjadi masalah. Pemerintah daerah pun diminta lebih serius mendukung sektor ekraf, karena hasil dari kegiatan ekraf itu akan kembali kepada daerahnya.
“Dukungan itu bisa kepada pembinaan, muatan produknya, pengemasan, pemasaran, maupun dalam bentuk lainnya seperti insentif pajak dan lainnya. Kita ini banyak kreativitas dan terobosan baru. Tapi kita masih fokus di kuliner, fesyen, dan kriya. Padahal masih banyak sektor lain yang bisa kita dorong, sehingga semakin maksimal. Nah juga harus dipastikan pajaknya masuk ke negara, kemudian pengembangan produknya dilakukan di Indonesia,” tutup Ledia.
#GP | Sf
“Ekosistem harus benar-benar dilindungi, mulai dari sistem pendidikan, penyediaan bahan baku, sampai pada ketika mereka kreativitas. Pelaku ekraf juga perlu didukung untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dengan HKI, pengembangan ekraf bisa lebih luas lagi,” kata Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR RI menyerap masukan RUU Ekraf di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (28/5/2019).
Dalam pertemuan yang juga dihadiri jajaran Pemerintah Kota Palembang, civitas akademika dan pelaku ekraf itu, Ledia menekankan, untuk melindungi pelaku ekraf dalam negeri, maka harus ada keberpihakan regulasi. Seperti penyediaan bahan baku, harus dari dalam negeri. Regulasi yang ada tidak boleh membela produk impor dibanding produk dalam negeri. Keberpihakan itu juga perlu diberikan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi UKM.
“Jadi sepanjang tidak ada link and match di antara kementerian dan lembaga ini, maka akan menjadi masalah. Karena mereka tidak bisa mengaitkan. Bagaimana bisa berkembang, bagaimana mereka mengantisipasi jika ada penimbunan, atau bahan-bahan yang diblok, dan seterusnya. Atau ketika produk ekraf ini dikirim ke luar negeri, ternyata tiba-tiba negara tujuannya ada perubahan regulasi, tentu akan menjadi masalah. Komunikasi dan koordinasi harus kuat untuk membangun ekosistem ekraf itu,” tegas Ledia.
Menyinggung permodalan yang kerap dikeluhkan pelaku ekraf, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan, beberapa skema bantuan permodalan sangat dimungkinkan, bahkan tanpa adanya agunan. Namun ia menekankan, kendati bantuan modal itu tanpa agunan, utamanya harus ada pendampingan. Jika pelaku ekraf mendapatkan bantuan modal tanpa agunan, dengan adanya pendampingan dan pembentukan kelompok, maka akan lebih memudahkan.
“Sehingga memastikan mereka akan melakukan pengembalian pada pinjamannya. Karena statusnya pinjaman, maka harus ada pengembalian. Jika diberikan hibah, maka hibahnya harus diperhatikan, memungkinkankah untuk segera diselesaikan, termasuk pendampingan agar modal itu tidak ‘kemakan’. Kalau modalnya ‘kemakan’ kan tidak bisa dikembangkan, dan pinjaman tidak bisa dikembalikan. Jadi, pendampingan dalam pemberian bantuan keuangan harus disertai dengan pendampingan,” tandas Ledia.
Politisi dapil Jawa Barat I itu optimis, ke depan sektor ekraf akan memberikan nilai tambah, sehingga memberikan pendapatan bagi pelakunya, bahkan hingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan devisa negara. Namun sebaliknya, jika tidak mendapat proteksi dan dukungan dari pemerintah, justru malah akan menjadi masalah. Pemerintah daerah pun diminta lebih serius mendukung sektor ekraf, karena hasil dari kegiatan ekraf itu akan kembali kepada daerahnya.
“Dukungan itu bisa kepada pembinaan, muatan produknya, pengemasan, pemasaran, maupun dalam bentuk lainnya seperti insentif pajak dan lainnya. Kita ini banyak kreativitas dan terobosan baru. Tapi kita masih fokus di kuliner, fesyen, dan kriya. Padahal masih banyak sektor lain yang bisa kita dorong, sehingga semakin maksimal. Nah juga harus dipastikan pajaknya masuk ke negara, kemudian pengembangan produknya dilakukan di Indonesia,” tutup Ledia.
#GP | Sf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar