JAKARTA.GP- Pengamat Politik dan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Carus mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak mengulangi kecurangan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kualalumpur dan Selangor, Malaysia.
Peneliti Formappi, Lucius Karus (foto: istimewa)
Dia mengatakan, bahwa KPU telah memutuskan pencoblosan ulang surat suara untuk Pemilih LN tepatnya Kualalumpur dan Selangor khusus untuk pemilih yang menggunakan mekanisme pengiriman pos. Hal itu menyusul, KPU telah memutuskan Pemungutan suara ulang dilakukan pada 25-27 April ini.
Diketahui, keputusan KPU ini dibuat setelah pada pemungutan suara pertama Panwas menemukan kecurangan berupa pencoblosan surat suara hanya untuk caleg tertentu.
Dijelaskan, suara pemilih Kualalumpur dan Selangor yang dijangkau melalui mekanisme pos memang signifikan untuk mendongkrak perolehan suara partai bahkan calon.
"Bayangkan, tercatat 319.293 pemilih yang terdaftar menjadi peserta pencoblosan melalui pos ini. Jika suara mereka direkayasa untuk satu caleg saja, maka keuntungan bisa sangat signifikan mendongkrak raihan suaranya. Oleh karena itu meremehkan proses pencoblosan di Kualalumpur dan Selangor tersebut sama saja mengabaikan keberadaan begitu banyak warga negara yang menginginkan wakil rakyat pilihan mereka terpilih," kata Luccius kepada media ini di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Menurutnya, pemungutan suara dengan mekanisme pos untuk begitu banyak pemilih, tentu ini bukan sesuatu yang mudah. Lucius pun mencatat beberapa poin krusial yang menurutnya rawan dilakukan.
Pertama, memastikan bagaimana setiap pemilih terdata dengan alamat yang bisa dijangkau. Kedua, bagaimana memastikan pemilih yang bersangkutan mencoblos sendiri surat suara yang diterimanya.
Ketiga memastikan tak adanya 'hantu caleg' yang bergentayangan di kantor pos penerima di Kualalumpur dan Selangor. Orang-orang ini mestinya sudah terdeteksi oleh Bawaslu sehingga seharusnya bisa ditindak agar tidak menjalankan praktek curang atas hasil transaksi dengan caleg tertentu.
"Hantu-hantu penjual jasa suara pemilih ini yang paling mungkin menciptakan kecurangan dalam proses pemungutan suara di Kualalumpur dan Selangor," tegasnya mengingatkan.
Keempat, bagaimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan memverifikasi kertas suara yang sudah dicoblos benar dicoblos oleh pemilik hak atau pemilik suara yang bersangkutan?
Oleh karena itu keputusan pemungutan suara ulang di dua wilayah tersebut harus juga berarti mengupayakan kecurangan yang terjadi sebelumnya tak berulang kembali. Jangan sampai pencoblosan ulang hanya menjadi semacam formalitas demi melaksanakan rekomendasi Bawaslu tanpa upaya serius KPU untuk menghentikan praktek kecurangan terdahulu. Jika masih saja kecurangan serupa terjadi, artinya pencoblosan ulang hanya buang-buang waktu dan terlebih anggaran.
Selain buang-buang waktu dan anggaran, mengulangi kecurangan hanya akan melegitimasi terpilihnya wakil rakyat yang tak bermartabat.
Bayangkan seseorang yang terpilih dengan modal "suara hantu" hasil kecurangan pada saat menjadi anggota DPR nanti, bagaimana ia bisa berintegritas jika kecurangan sudah sejak awal jadi modal kerja politiknya?
"Jadi, pemilihan suara ulang untuk Kualalumpur dan Selangor dan juga mungkin banyak daerah lain, mesti dibaca sebagai upaya untuk menjamin integritas pemilu yang menjadi awal harapan baru akan parlemen yang bermartabat.
Parlemen yang berintegritas harus dimulai dari proses pemilu yang bermartabat. Oleh karena itu mestinya dalam kasus calo suara di Kualalumpur dan Selangor, Bawaslu tak hanya menghukum para calo saja. Yang paling penting adalah bagaimana menjerat caleg yang terlibat kecurangan itu," tegasnya.
Terakhir, kata Lucius, makna penting lainnya adalah bagaimana penyelenggara pemilu memastikan hak suara pemilih dihargai dengan memastikan tidak ada manipulasi yang terjadi.
#GP | MD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar