JAKARTA.GP- Artikel berikut (dari media online www.hukumonline.com) kiranya dapat menjadi bahan analisis bersama dalam menyikapi persoalan gugatan PMH terhadap dewan pers yang ditolak Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, Rabu minggu lalu. Empat alinea terakhir merupakan tanggapan/jawaban saya atas permintaan komentar dari wartawan media online tersebut. Selasa, 19 Februari, kita mengambil asli salinan putusan Majelis Hakim, untuk kemudian dijadikan rujukan dalam perjuangan selanjutnya. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, kepada pewarta media ini melalui saluran WhatsApp-nya.
Prinsip dasar perjuangan kita adalah *Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia*, yang dijabarkan secara detail ke dalam pasal-pasal UU No. 40 tahun 1999, yang pada intinya adalah bahwa "Kemerdekaan Bersuara adalah Hak Asasi Manusia yang paling Asasi". Ketentuan HAM yang paling asasi ini juga merupakan salah satu prinsip utama yang tertuang/tertulis secara jelas dan tegas dalam Declaration of Human Rights, yang diratifikasi oleh semua negara anggota Perserikatan bangsa-Bangsa.
Landasan itulah, yang juga menjadi akar dari ide sistim pemerintahan demokrasi di dunia ini, akan selalu menjadi fondasi berpikir dan bertindak dalam memperjuangkan HAM Bersuara (yang salah satu wujudnya berbentuk Kemerdekaan Pers) setiap warga manusia di muka bumi ini. Selamat membaca dan berpikir. Terima kasih...
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: hukumonline.com
Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) dan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) kepada Dewan Pers terkait dengan peraturan standar kompetensi wartawan.
"Setelah melalui seluruh proses persidangan perkara ini yang menghabiskan waktu kurang lebih 11 bulan, akhirnya majelis hakim telah memberi dan membaca keputusan dengan menyatakan bahwa 'Gugatan Penguggat tidak dapat diterima (ditolak)' dan penggugat dihukum membayar biaya perkara," demikian siaran pers dari Sekretariat Dewan Pers, Rabu (13/2) malam.
Sebelumnya, SPRI dan PPWI menggugat Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan membuat kebijakan melampaui fungsi kewenangannya.
Dalam proses persidangan, Dewan Pers telah membantah dalil penggugat dan menyatakan lembaga itu memiliki fungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 15 Ayat (2), Huruf f adalah sah dan berwenang mengeluarkan peraturan Dewan Pers sebagai hasil dari proses memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, khususnya peraturan tentang standar kompetensi wartawan.
Sejumlah pertimbangan hukum dari majelis hakim menolak gugatan pertama karena pokok materi gugatan penggugat adalah perihal permohonan pembatalan kebijakan (peraturan) yang dibuat oleh Dewan Pers.
Hal kedua, pokok materi gugatan adalah perihal permohonan pembatalan kebijakan atau peraturan Dewan Pers. Hal itu harus diuji apakah regulasi yang dibuat Dewan Pers bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang ada.
Berdasarkan pertimbangan hukum pada angka 2 di atas, kewenangan untuk menguji sah tidaknya kebijakan dari Dewan Pers bukan merupakan kewenangan pengadilan negeri, melainkan badan peradilan lain.
Badan peradilan lain, berdasarkan tata urutan peraturan perundangan yang kedudukannya lebih rendah daripada undang-undang, yang berhak menguji keabsahan atau tidaknya kebijakan Dewan Pers menjadi kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Majelis hakim yang memeriksa perkara perdata itu terdiri atas Abdul Kohar sebagai hakim ketua, serta Desbenneri Sinaga dan Tafsir Sembiring sebagai hakim anggota.
Menanggapi putusan tersebut, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan bahwa selama ini Dewan Pers sudah bekerja sesuai dengan amanat UU Pers. Kewenangan Dewan Pers mengeluarkan peraturan juga turut diatur oleh UU Pers.
Stanley mengingatkan bahwa UU Pers merupakan salah satu UU yang unik karena tidak memiliki aturan turunan. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah intervensi. Sehingga peraturan-peraturan mengenai pers dikeluarkan oleh Dewan Pers selaku lembaga yang memfasilitasi organisasi jurnalis maupun perusahaan pers yang terdaftar di Dewan Pers.
Terkait gugatan PPWI dan SRPI, Stanley mempertanyakan posisi kedua penggugat terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Pasalnya, dua lembaga tersebut tidak terdaftar di Dewan Pers.
"Dewan Pers hanya sebagai fasilitator. Jadi kalau ada lembaga pers, maupun perusahaan yang mau membuat peraturan, mereka sudah bahas dulu dibawah. Setelah sepakat nanti baru disampaikan ke Dewan Pers. Dewan Pers nanti akan mengundang para anggota, dan disana nanti akan disepakati. Jadi rasanya aneh kalau ada lembaga pers yang tidak terdaftar tapi menggugat peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers," kata pria yang akrab disapa Stanley kepada hukumonline, Jumat (15/2).
Peraturan Dewan Pers tetap bisa direvisi jika memang para anggota menilai peraturan tersebut perlu untuk diatur ulang. Dalam konteks ini, lagi-lagi Stanley menegaskan bahwa kewenangan membuat dan merumuskan peraturan pers tidak berada pada Dewan Pers. Kewenangan tersebut berada pada tiap anggota.
Sementara itu, mengenai sertifikasi wartawan, Stanley menjelaskan bahwa Dewan Pers bekerja sesuai dengan kesepakatan dan penandatanganan Piagam Palembang yang diteken oleh 18 perusahaan pers pada 2010 lalu. Piagam Palembang merupakan ratifikasi standar perusahaan pers, yang bertujuan untuk memberikan standar kualitas pers dari sisi pemberitaan, SDM serta perusahaan menjadi lebih baik.
"Jadi pertanyannya PPWI dan SRPI ini siapa? Mereka bukan anggota Dewan Pers, kok menggugat peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers yang peraturan itu dirumuskan dan disepakati oleh semua anggota?" tegasnya.
Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke menyayangkan putusan majelis hakim dalam memutus gugatannya. Ia menilai majelis hakim tidak profesional dan kurang memahami UU Pers.
"Hakim-hakim itu perlu kuliah hukum lagi, khususnya terkait hak azasi manusia yang menjadi pondasi UU Pers, yang merupakan penjabaran dari pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945," kata Wilson kepada hukumonline lewat pesan singkat Whatsapp, Jumat (15/2).
Bagi Wilson, majelis hakim berusaha membuat putusan yang 'aman' bagi hakim. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertimbangan majelis hakim yakni hanya menggunakan opini dan penafsiran dewan pers tentang pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers sebagai dasar pertimbangan putusan hakim. Argumen penggugat dan para saksi (baik saksi penggugat maupun tergugat) yang menyatakan bahwa pasal 15 tidak memberi kewenangan apapun kepada dewan pers untuk melakukan UKW, verifikasi, dan kebijakan lainnya, tidak diindahkan hakim.
"Kita masih menunggu salinan putusan, Selasa depan kita ambil, untuk selanjutnya akan dianalisis dan dibuatkan memori banding. Juga akan kupas ketidakprofesionalan hakim, dipublikasikan melalui jaringan media kita, baik skala nasional maupun internasional," pungkasnya.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6a26bcaeff7/gugatan-aturan-standar-kompetensi-wartawan-tak-dapat-diterima
#GP|RED
Prinsip dasar perjuangan kita adalah *Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia*, yang dijabarkan secara detail ke dalam pasal-pasal UU No. 40 tahun 1999, yang pada intinya adalah bahwa "Kemerdekaan Bersuara adalah Hak Asasi Manusia yang paling Asasi". Ketentuan HAM yang paling asasi ini juga merupakan salah satu prinsip utama yang tertuang/tertulis secara jelas dan tegas dalam Declaration of Human Rights, yang diratifikasi oleh semua negara anggota Perserikatan bangsa-Bangsa.
Landasan itulah, yang juga menjadi akar dari ide sistim pemerintahan demokrasi di dunia ini, akan selalu menjadi fondasi berpikir dan bertindak dalam memperjuangkan HAM Bersuara (yang salah satu wujudnya berbentuk Kemerdekaan Pers) setiap warga manusia di muka bumi ini. Selamat membaca dan berpikir. Terima kasih...
Gugatan Aturan Standar Kompetensi Wartawan Tak Dapat Diterima
Sumber: hukumonline.com
Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) dan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) kepada Dewan Pers terkait dengan peraturan standar kompetensi wartawan.
"Setelah melalui seluruh proses persidangan perkara ini yang menghabiskan waktu kurang lebih 11 bulan, akhirnya majelis hakim telah memberi dan membaca keputusan dengan menyatakan bahwa 'Gugatan Penguggat tidak dapat diterima (ditolak)' dan penggugat dihukum membayar biaya perkara," demikian siaran pers dari Sekretariat Dewan Pers, Rabu (13/2) malam.
Sebelumnya, SPRI dan PPWI menggugat Dewan Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan membuat kebijakan melampaui fungsi kewenangannya.
Dalam proses persidangan, Dewan Pers telah membantah dalil penggugat dan menyatakan lembaga itu memiliki fungsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 15 Ayat (2), Huruf f adalah sah dan berwenang mengeluarkan peraturan Dewan Pers sebagai hasil dari proses memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, khususnya peraturan tentang standar kompetensi wartawan.
Sejumlah pertimbangan hukum dari majelis hakim menolak gugatan pertama karena pokok materi gugatan penggugat adalah perihal permohonan pembatalan kebijakan (peraturan) yang dibuat oleh Dewan Pers.
Hal kedua, pokok materi gugatan adalah perihal permohonan pembatalan kebijakan atau peraturan Dewan Pers. Hal itu harus diuji apakah regulasi yang dibuat Dewan Pers bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang ada.
Berdasarkan pertimbangan hukum pada angka 2 di atas, kewenangan untuk menguji sah tidaknya kebijakan dari Dewan Pers bukan merupakan kewenangan pengadilan negeri, melainkan badan peradilan lain.
Badan peradilan lain, berdasarkan tata urutan peraturan perundangan yang kedudukannya lebih rendah daripada undang-undang, yang berhak menguji keabsahan atau tidaknya kebijakan Dewan Pers menjadi kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Majelis hakim yang memeriksa perkara perdata itu terdiri atas Abdul Kohar sebagai hakim ketua, serta Desbenneri Sinaga dan Tafsir Sembiring sebagai hakim anggota.
Menanggapi putusan tersebut, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan bahwa selama ini Dewan Pers sudah bekerja sesuai dengan amanat UU Pers. Kewenangan Dewan Pers mengeluarkan peraturan juga turut diatur oleh UU Pers.
Stanley mengingatkan bahwa UU Pers merupakan salah satu UU yang unik karena tidak memiliki aturan turunan. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah intervensi. Sehingga peraturan-peraturan mengenai pers dikeluarkan oleh Dewan Pers selaku lembaga yang memfasilitasi organisasi jurnalis maupun perusahaan pers yang terdaftar di Dewan Pers.
Terkait gugatan PPWI dan SRPI, Stanley mempertanyakan posisi kedua penggugat terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Pasalnya, dua lembaga tersebut tidak terdaftar di Dewan Pers.
"Dewan Pers hanya sebagai fasilitator. Jadi kalau ada lembaga pers, maupun perusahaan yang mau membuat peraturan, mereka sudah bahas dulu dibawah. Setelah sepakat nanti baru disampaikan ke Dewan Pers. Dewan Pers nanti akan mengundang para anggota, dan disana nanti akan disepakati. Jadi rasanya aneh kalau ada lembaga pers yang tidak terdaftar tapi menggugat peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers," kata pria yang akrab disapa Stanley kepada hukumonline, Jumat (15/2).
Peraturan Dewan Pers tetap bisa direvisi jika memang para anggota menilai peraturan tersebut perlu untuk diatur ulang. Dalam konteks ini, lagi-lagi Stanley menegaskan bahwa kewenangan membuat dan merumuskan peraturan pers tidak berada pada Dewan Pers. Kewenangan tersebut berada pada tiap anggota.
Sementara itu, mengenai sertifikasi wartawan, Stanley menjelaskan bahwa Dewan Pers bekerja sesuai dengan kesepakatan dan penandatanganan Piagam Palembang yang diteken oleh 18 perusahaan pers pada 2010 lalu. Piagam Palembang merupakan ratifikasi standar perusahaan pers, yang bertujuan untuk memberikan standar kualitas pers dari sisi pemberitaan, SDM serta perusahaan menjadi lebih baik.
"Jadi pertanyannya PPWI dan SRPI ini siapa? Mereka bukan anggota Dewan Pers, kok menggugat peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers yang peraturan itu dirumuskan dan disepakati oleh semua anggota?" tegasnya.
Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke menyayangkan putusan majelis hakim dalam memutus gugatannya. Ia menilai majelis hakim tidak profesional dan kurang memahami UU Pers.
"Hakim-hakim itu perlu kuliah hukum lagi, khususnya terkait hak azasi manusia yang menjadi pondasi UU Pers, yang merupakan penjabaran dari pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945," kata Wilson kepada hukumonline lewat pesan singkat Whatsapp, Jumat (15/2).
Bagi Wilson, majelis hakim berusaha membuat putusan yang 'aman' bagi hakim. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertimbangan majelis hakim yakni hanya menggunakan opini dan penafsiran dewan pers tentang pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers sebagai dasar pertimbangan putusan hakim. Argumen penggugat dan para saksi (baik saksi penggugat maupun tergugat) yang menyatakan bahwa pasal 15 tidak memberi kewenangan apapun kepada dewan pers untuk melakukan UKW, verifikasi, dan kebijakan lainnya, tidak diindahkan hakim.
"Kita masih menunggu salinan putusan, Selasa depan kita ambil, untuk selanjutnya akan dianalisis dan dibuatkan memori banding. Juga akan kupas ketidakprofesionalan hakim, dipublikasikan melalui jaringan media kita, baik skala nasional maupun internasional," pungkasnya.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5c6a26bcaeff7/gugatan-aturan-standar-kompetensi-wartawan-tak-dapat-diterima
#GP|RED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar