Sijunjung(SUMBAR).GP- Setelah puluhan pemilik media bersama jurnalisnya mendengarkan sedikit paparan Bupati Drs. Yuswir Arifin, Sekda Zefnihan dan Kadis Pariwisata Yofritas, tentang kepariwisataan Sijunjung, mereka mulai dipandu oleh masyarkat setempat yang dinakhodai oleh Ketua DPC PPWI Sijunjung didampingi Sekretaris Bambang Wahyu Samada, dan anggota PPWI lainya menuju desa adat.
Di Desa Adat inilah kita akan melihat destinasi menarik yang patut diacungi jempol. Selain terkenal dengan desa adat, beragam destinasi dan sejarah Adat Minang Kabua yang penuh mesteri akan kita lihat dapat kita lihat.
Ternyata benar apa yang telah diceritakan oleh banyak media selama ini tentang Kabupaten Sijunjung di Provinsi Sumatera Barat ini menyimpan banyak Sejarah Minang Kabau dan ini bisa kita lihat dan cermati, salah satunya dari keberadaan Desa Adat ini. Bagi pencinta kegiatan alam, maka Rumah Adat di Desa ini dapat dipergunakan untuk tempat beristitrahat dengan menyewanya kapada pemilik Rumah Adat suku masing-masing cuma dengan harga 200 ribu permalam.
Memang petujuk menuju ke perkampungan Desa Adat ini belum optimal, namun untuk menemukan perkampungan adat ini cukup mudah. Kalau dari Kota Padang, usai menyusuri bukit barisan di sekitar 20 kilometer dari jalur Lintas Sumatera, kita akan melihat perkebunan karet nan saling berhadap-hadapan di salah satu ruas jalan, maka itu artinya kita telah menginjakkan kaki di pusat kota Sijunjung – Muaro Sijunjung. Setalah menempuh sedikit jalan menanjak saat perjalanan memasuki pusat kota Sijunjung yang memanjang maka akan kita jumpai kantor Bupati setempat. Sekitar 15 menit perjalanan dengan kendaraan, Kita akan melihat jembatan sepanjang 200 meter yang membentang di Batang Sukam dan inilah tanda pintu masuk ke Desa Adat Sijunjung itu. Maka setelah itu kita akan melihat patung perempuan sedang berdiri lengkap dengan pakaian adat yang menjunjung bekal setinggi sekitar tiga meter sebagai pertanda kita telah sampai di Desa Adat.
Disini kita akan terkesima melihat beragam bangunan tua bergaya ‘Rumah Gadang’ (rumah adat Minang) lengkap dengan atap gonjong terlihat saling berhadap-hadapan mewarnai sepanjang 1 kilometer. Sebagian terlihat sudah direnopasi dan rapi meskipun dengan konsep mempertahankan gaya leluhur masing-masig kaum sukunya. Jika kita amati rumah gadang ini sepertinya tidak ada yang baru, semua bangunan lama, hanya sesekali terselip bangunan tembok dan jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari
Rumah Adat ini dihuni oleh kaum turun menurun dari kaum suku Adat di Desa Adat yang silih berganti sesuai dengan putaran waktu. “Yang tak berubah adalah rumah adat. Meski mereka keluar dari kampung, tapi tak ada yang berniat atau pernah menghancurkan rumah adat, apa lagi diperjual belikan,” ujar pemilik Rumah Adat Suku Kaum Chaniago Zah Ira (45).
"Ini adalah ruma ninik moyang kami, jadi kami harus menjaga dan merwatnya turun menurun, bahkan untuk merehap rumah adat ini saja bisa mengabis anggaran ratusan juta. Karena ini rumah adat kami yang perlu kami lestarikan, maka tahun kemaren kami sepakat merehapnya dengan mengabiskan anggaran 200 juta rupiah lebih," katanya.
Jika kita lihat dari usia bangunan, bukan hal mustahil kalau desa adat di Sijunjung ini adalah cagar budaya dan pusat kota pada zaman dulu kalanya yang harus dilestarikan, karena ini adalah bahagian dari cerita sejarah Minang Kabau.
Memang, indititas Rumah Adat Minangkabau gampang dikenali dari sisi arsitektur atap bagonjong mirip tanduk kerbau. Namun Rumah Adat Minang Kabau di Desa Adat Kabupaten Sijunjung ini jelas tampak ASRI nya dan memiliki lantar belakang cerita menarik untuk dikupas, tentu saja perkampungan Adat ini perlu perhatian khusus oleh Pemeritah baik pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupetan Sijunjung itu sendiri.
Ketika ditanyakan kepada Zah Ira sedikit tentang masa lalu sejarah Rumah Adat nya. Sebelum Indonesia merdeka katanya, dia saat itu belum lahir kedunia ini, namun berdasarkan cerita yang didaptinya dari Ninik Mamak dan Kaum Adat dari generasi sebulumnya. "Dulu, Desa Adat ini, kami menyebutnya dengan nama Koto Tuo. Di luar kampung ini belum banyak rumah.” katanya menceritakan cerita dari orang-orang sebelumnya.
Tentu saja kalau kita telita dan cermati apa lagi melhat dari usia bangunan dan cerita Zah Ira, bukan hal mustahil desa adat Sijunjung ini dulunya adalah menjadi pusat kota pada zamanya itu (red). Karena posisi Desa Adat ini strategis – yang cuma berjarak sekitar 10 kilometer dari Kantor Bupati Sijunjung. Dari data yang telah diexpos oleh beberapa media, menjelasakan Desa Adat ini diyakini sudah ada sejak abad XII.
Cerita Tugu Puti Junjung di Desa Adat Sijunjuang.
Patung perempuan berpakaian adat yang berdiri kokoh saat kita memasuki kampung memunculkan pertanyaan. “Kami meyakini, Kabupaten Sijunjung bermula dari kampung ini,” penjelasan dari Zah Ira ini tentu bisa kita jadikan refrensinya.
Apa hubungannya dengan patung perempuan yang berdiri di pertigaan jalan dan tepat berada di tengah-tengah perkampungan adat? Menurut Koordinator Rumah Adat di Desa Adat tersebut, Fitri (29). Cerita yang didapatinya dari para orang tuanya terdahulu. Perempuan ini, dikenal dengan sebutan Puti Junjung. Puti merupakan sebutan untuk seorang perempuan bangsawan di Minang atau lebih akrab disebut dengan ‘putri’.
Cerita asal-usul kampung Adat ini berlanjut dalam bahasa tutur secara turun temurun. Nama Sijunjung diambil dari hasil rapat yang digelar petinggi kampung. Kebuntuan terkait nama terjawab saat suara perempuan minta tolong yang memecah keheningan. “Suara itu berasal dari tepi Sungai Mananti.”
Tak satu pun yang mampu menyelamatkan perempuan yang terjepit dihimpitan batu. Perempuan ini dikenal dengan Si Niar, nama kebangsawanannya Puti Junjuang. Singkat cerita hanya Syech Amaluddin yang berhasil membebaskan Puti Junjuang yang terjepit. “Peristiwa itu yang kemudian menjadikan Ninik Mamak (tokoh adat) sepakat menamakan daerah ini dengan Sijunjuang. Puti Junjuang itu yang dibuatkan patungnya,” kata Fitri menceritakan cerita yang didaptinya dari para orang-orang tuanya terdahulu.
BERTAHAN
Namun ada hal menimbulkan banyak pertanyaan bagi kita saat berkunjung ke Desa Adat ini. Karena kita melihat jumlah rumah adat di kampung ini seperti jalan di tempat, tidak mengenal kata pertumbuhan. Awalnya kita akan berasumsi, tidak ada pertumbuhan ekonomi di sini. Bahkan kita melihat kalau kondisi yang ada terasa hanya bertahan melawan perkembangan era globalisasi. Namun, kesimpulan itu terbantakan saat kita melihat dibeberapa rumah ada antena parabola mewarnai halaman Rumah Gadang.
Hingga kini, jumlah rumah adat di desa ini stagnan di angka 67. Tidak mudah memang untuk mendirikan rumah bagonjong di Desa Adat. Karena semuanya harus ada persetujuan Pangulu (penghulu) untuk menambahnya, tampa ada kesepakatan para Penghulu melalui Rapat Adat maka mustahil Rumah Adat baru akan bisa di bangun di Desa Adat ini.
Ketiga pemimpin adat ini dikenal sebagai Tungku Tigo Sajarangan. Ketiga pimpinan adat ini mesti hadir ketika rumah adat dibangun. Pangulu menjadi syarat wajib untuk membangun rumah adat baru di Desa Adat Sijunjung. 'Jika tak ada pangulu, maka rumah adat tak akan dibangun' itu adalah adat di Minang Kabau ini
ENAM SUKU
Desa Adat Sijunjung dihuni dihuni oleh enam suku: Chaniago, Piliang, Melayu, Tobo, Panai, dan Melayu Tak Timbago. Uniknya, meski berasal dari enam suku berbeda, tak ada yang membedakan rumah adat mereka. Semua berjalan dengan demokrasi dengan konsep matrilineal, saat kaum kerabat perempuan menghuni rumah adat.
Dari beberapa rumah yang disinggahi, rata-rata konsep bangunannya dibangun dalam bentuk persegi panjang dengan jumlah ruang dari empat hingga lima ruang. Kondisi ini memudahkan untuk menghitung jumlah keluarga yang berada di sana karena biasanya, jumlah ruang menentukan jumlah keluarga dan satu ruangan khusus untuk Pangulu.
Di sini, rumah adat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan adat. Prosesi pernikahan menjadi kegiatan adat yang membawa kita kembali ke masa lalu. Sayang saat berkunjung, tak dijumpai kegiatan adat yang digelar di sana. Menurut cerita masyarakat setempat, prosesi awal pernikahan dilakukan di rumah adat ini – mulai dari meminang hingga akad nikah. Untuk pesta, bisa dilakukan di luar rumah adat.
Mualai dari kegiatan penyerahan siriah (sirih) sampai pemberian tando (peletakan tanda atau pemberian cincin kawin). Pada prosesi ini, semua berkumpul di rumah adat. Prosesi ini menjadi sakral dan menjadi pemersatu masyarakat adat di Minang Kabau.
Ukiran motif tradisional pada Rumah Gadang di Desa Adat Sijunjunjuang (Foto/Goparlemant)
RUMIT
Mengunjungi Desa Adat Sijunjung belum lengkap rasanya tanpa memperhatikan pola bangunan yang memiliki filosofi. Gaya arsitektur yang geometri terlihat lebih besar ke atas dan kecil ke bawah – segi empat yang tidak simetris. Di sini, rata-rata bangunan rumah gadang dibangun di atas kaki-kaki yang menahan badan bangunan dan atap berbentuk setengah lingkaran dengan pola gonjong.
Anda akan terpukau dengan rumitnya pola warna yang membentuk barisan gambar menarik dan pola ukiran kayu di bawah gonjong, rumah tua yang mulai termakan usia.
Bangunan yang didominasi berbahan kayu ini terlihat sederhana dan menghindari pola-pola yang rumit. Bila diperhatikan, karya seni ukiran dari para tukang kayu dan dominasi cat berwarna mencolok (merah, kuning, hitam) menghiasi panil-panil kayu dan bagian terawang di bawah atap gonjong bagian depan.
Anda akan terpukau dengan rumitnya pola warna yang membentuk barisan gambar menarik dan pola ukiran kayu di bawah gonjong, rumah tua yang mulai termakan usia. Meski sebagian rumah gadang di Desa Adat Sijunjung sudah beratapkan seng – atap Rumah Gadang memakai konsep sederhana dengan material ijuk – namun pola ukiran dan warna menunjukkan kerumitan yang butuh tenaga ekstra untuk menyelesaikannya.
Pola ukiran yang rumit ini mudah dijumpai pada bagian jendela, pintu, dan bagian segi tiga di bawah gonjong bagian depan rumah gadang. Anda akan terasa diajak untuk menikmati karya seni Minangkabau yang kaya akan falsafah alam takambang jadi guru. Jika diamati, pola ukirannya seperti akar rambat yang bersambung menyambung membentuk pola menarik.
Masyarakat Minang mengenal beberapa pola ukiran seperti pucuak rambang, kaluak paku, dan sederatan nama lain yang kesemuanya menunjukkan detail yang rumit. Kini, Rumah adat Kampuang Tuo ini diusulkan Dinas Budaya dan Pariwisata Sumatera Barat sebagai world heritage. Kampung Tuo Sijunjung diusulkan bersama Jam Gadang, seribu rumah gadang di Solok Selatan, dan Sawahlunto.
#GP- Ce
Tidak ada komentar:
Posting Komentar