JAKARTA.GP- Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2018 ini yang hanya sebesar 5,27 persen, masih jauh dari target pemerintah sebesar 5,4 persen. Pemerintah sendiri mengklaim ini merupakan capaian tertinggi. Padahal, janji kampanye Presiden Joko Widodo disebutkan mencapai 7 persen. Sudah empat tahun pemrintahan berjalan, target pertumbuhan tak pernah tercapai.
“Saya melihat faktor yang mendorong pertumbuhan tersebut adalah berakhirnya booming komoditas yang menjadi mimpi buruk bagi perekonomian nasional. Faktanya, saat fase booming komoditas, pertumbuhan ekonomi dari 2015-2016 menunjukkan performa yang jauh dari harapan. Pada kuartal II 2015, misalnya, pertumbuhan hanya sebesar 4,74 persen,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan saat diwawancara lewat sambungan telepon, Kamis (09/8/2018).
Menurut politisi Partai Gerindra ini, sejak kuartal I 2016, pertumbuhan ekonomi bergeser ke angka 4,94 persen, meski kurang begitu memuaskan. Tahun 2016 itu adalah fase recovery pasca berakhirnya booming komoditas, sampai akhirnya pada kuartal II 2018 naik ke angka 5,27 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2018, nampaknya lebih dipengaruhi belanja bantuan sosial (bansos).
Program ini, kata Heri, turut memengaruhi tingkat kemiskinan. Namun, pada sisi lain berimbas pada pengurangan belanja modal pemerintah. “Kebijakan belanja bansos yang besar itu memang by design, tentunya seiring semakin dekatnya tahun politik jelang Pilpres 2019. Kebijakan ini mengorbankan belanja modal yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat sektor strategis nasional, seperti pangan dan energi. Ini terlihat dari kontribusi government expendinture yang kecil sekali dampaknya terhadap peningkatan sektor produktif,” papar Heri.
Naiknya konsumsi rumah tangga saat ini, sambung politisi dari dapil Jabar IV itu, tidak berarti daya beli masyarakat membaik. Semuanya dilatari kontribusi belanja pemerintah (government expenditure). Terbukti, realisasi belanja pemerintah naik pesat, khususnya bantuan sosial. Jadi secara keseluruhan, perekonomian nasional selama pemerintahan ini benar-benar bergantung faktor eksternal, bukan hidupnya ekonomi riil.
Heri menilai, seringnya target pertumbuhan pemerintah meleset, karena proyeksi yang dibuat sering over optimistic. Itu menjadi tanda bahwa pemerintah tidak membaca keadaan lapangan, apa yang sebetulnya terjadi. “Angka ketimpangan yang masih bertengger di kisaran 0,39, mestinya sudah lebih dari cukup untuk menjadi warning bahwa arah kebijakan ekonomi yang dipatok pemerintah Jokowi keliru. Sistem ekonomi yang dijalankan selama ini juga belum mampu menciptakan pemerataan secara total,” tandasnya lagi.
Ditambahkannya, postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Ekonomi nasional pun tidak dinikmati rakyat banyak. Bahkan, angka di kuartal II sebesar 5,27 persen itupun hanya bersifat sementara, belum mampu merembes sampai ke kelas masyarakat menengah ke bawah yang proporsinya sebesar 80 persen.
“Saya melihat faktor yang mendorong pertumbuhan tersebut adalah berakhirnya booming komoditas yang menjadi mimpi buruk bagi perekonomian nasional. Faktanya, saat fase booming komoditas, pertumbuhan ekonomi dari 2015-2016 menunjukkan performa yang jauh dari harapan. Pada kuartal II 2015, misalnya, pertumbuhan hanya sebesar 4,74 persen,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan saat diwawancara lewat sambungan telepon, Kamis (09/8/2018).
Menurut politisi Partai Gerindra ini, sejak kuartal I 2016, pertumbuhan ekonomi bergeser ke angka 4,94 persen, meski kurang begitu memuaskan. Tahun 2016 itu adalah fase recovery pasca berakhirnya booming komoditas, sampai akhirnya pada kuartal II 2018 naik ke angka 5,27 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2018, nampaknya lebih dipengaruhi belanja bantuan sosial (bansos).
Program ini, kata Heri, turut memengaruhi tingkat kemiskinan. Namun, pada sisi lain berimbas pada pengurangan belanja modal pemerintah. “Kebijakan belanja bansos yang besar itu memang by design, tentunya seiring semakin dekatnya tahun politik jelang Pilpres 2019. Kebijakan ini mengorbankan belanja modal yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat sektor strategis nasional, seperti pangan dan energi. Ini terlihat dari kontribusi government expendinture yang kecil sekali dampaknya terhadap peningkatan sektor produktif,” papar Heri.
Naiknya konsumsi rumah tangga saat ini, sambung politisi dari dapil Jabar IV itu, tidak berarti daya beli masyarakat membaik. Semuanya dilatari kontribusi belanja pemerintah (government expenditure). Terbukti, realisasi belanja pemerintah naik pesat, khususnya bantuan sosial. Jadi secara keseluruhan, perekonomian nasional selama pemerintahan ini benar-benar bergantung faktor eksternal, bukan hidupnya ekonomi riil.
Heri menilai, seringnya target pertumbuhan pemerintah meleset, karena proyeksi yang dibuat sering over optimistic. Itu menjadi tanda bahwa pemerintah tidak membaca keadaan lapangan, apa yang sebetulnya terjadi. “Angka ketimpangan yang masih bertengger di kisaran 0,39, mestinya sudah lebih dari cukup untuk menjadi warning bahwa arah kebijakan ekonomi yang dipatok pemerintah Jokowi keliru. Sistem ekonomi yang dijalankan selama ini juga belum mampu menciptakan pemerataan secara total,” tandasnya lagi.
Ditambahkannya, postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak. Ekonomi nasional pun tidak dinikmati rakyat banyak. Bahkan, angka di kuartal II sebesar 5,27 persen itupun hanya bersifat sementara, belum mampu merembes sampai ke kelas masyarakat menengah ke bawah yang proporsinya sebesar 80 persen.
#GP-YUTARI
#SUMBER dpr.go.id
#SUMBER dpr.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar