Negeri Para Penghujat - Go Parlement | Portal Berita

Breaking

HUT PPWI KE 17

Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung Mengucapkan Selamat HUT ke 17 PPWI Puji Basuki, SP.MMA Nama lengkapnya Kadis Pendidikan Sijunjung

Negeri Para Penghujat

Rabu, Juli 04, 2018
GP- Musim berganti, waktu pun berlalu. Setiap fase perubahan itu memiliki dinamika dan ceritanya sendiri.

Dalam bernegara dan bernagari, juga begitu. Ada ritme di setiap tahapannya. Ada sistem yang mengatur tatanan berkehidupan supaya alurnya tetap  berada dalam koridor yang diinginkan.

Politik suatu negara pun demikian. Sistem yang dibuat, tidak selamanya cocok dengan karakter dan tingkat serapan masyarakat di negara tersebut. Apalagi sistem yang dipakai, merupakan hasil adopsi atau 'copas' milik negara lain. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia sekarang.

Pasca reformasi 1998, negara ini seakan mengalami pancaroba tak terkendali. Tema demokrasi yang digadang-gadangkan ketika itu, langsung dipuja-puji, termasuk oleh negara lain, terutama USA, sebuah negara yang menyebut dirinya penganut azas demokrasi terbaik.

Akibatnya, para tokoh yang merasa dirinya sebagai 'aktor' dibalik tumbangnya era Orde Baru, langsung kembang 'rabu-nya' serta ke Ge er-an tak menentu yang tak jelas juntrungannya.

Di pikiran mereka, merekalah pahlawan sebenar pahlawan, yang telah memberi andil besar dalam menegakkan demokrasi utuh di negara ini. 

Padahal di balik pujian orang negara barat itu, saya 'souzon' terkandung unsur 'titian barakuak' yang bakal menjerembabkan kita dan bangsa ini. Mungkin saja.

Reformasi yang dibarengi pelaksanaan otonomi daerah dan pilkada langsung ketika itu, membuat bangsa ini sedikit tergagap. Pelbagai formulasi diuji cobakan sambil jalan. Akibatnya bongkar pasang aturan dan regulasi, sempat terjadi beberapa kali. Namun hingga kini formatnya belum juga duduk.

Euforia tumbangnya 'orde baru,' telah membuat segenap kita waktu itu langsung 'bersihonjak-honjak,' tanpa tahu dan mengerti substansi reformasi tersebut. 

Dipikiran rakyat bangsa ini -- termasuk saya waktu itu, buah manis reformasi, telah berhasil dipetik sedemikian rupa. Sehingga di setiap provinsi dan kabupaten kota, dapat menggelar 'konser' pilkada nya masing-masing secara langsung.

Namun disinilah letak ketidak siapan yang saya maksud tadi. Pasca Pilkada, munculah penguasa baru di masing-masing daerah, termasuk di tingkat nasional usai pagelaran Pilpres. 

Padahal semestinya, konsep pemilihan langsung, adalah untuk mencari pemimpin atau figur kepala daerah yang muncul dari masyarakat. 

Namun nyatanya yang mencuat adalah 'raja raja' baru di daerah, yang senantiasa dieluk-elukan para pemuja dan penggembiranya. Walau sang raja itu sempat 'keseleo' dan salah, namun akan tetap dibenarkan oleh tim pengusungnya dengan dalih yang mereka anggap benar.

Sementara bagi orang-orang 'diseberang' jangan coba-coba mengkritik apalagi menyalahkan, karena akan langsung mendapat 'tackling' dan serangan balik dari para pengusung penguasa.

Nah, di saat kelompok penguasa berpestapora dan bersilantas angan dengan regulasi dan anggaran yang mereka kuasai, maka disaat itu pulalah, kelompok seberang akan merasa tertekan dan terikebiri oleh rivalnya itu.

Untuk pelampiasan, akhirnya muncullah orang-orang yang doyan mengkritik dan menghujat. Apalagi disaat masa pilkada itu akan digelar kembali. 

Orang-orang yang telah lima tahun menahan 'onaknya' lantaran berada sebagai oposisi, biasanya akan lebih agresif dan bersuara lebih lantang meneriakan 'ayo, mari bung rebut kembali.'  

Namun tak kalah serunya, sang juara bertahan akan membalas dengan jeritan, lanjutkan !!!

Itulah fenomena yang terjadi. Kelompok sang juara akan berupaya mencari pembenaran untuk memoles kesalahan dengan dalih yang mereka anggap benar atau lazim. 

Sebaliknya, si kalah akan selalu jeli melihat setiap sisi kesalahan yang mungkin terjadi. 

Hujatan demi hujatan akan berseliweran disana-sini, dan intensitasnya akan semakin meningkat disaat agenda pemilihan  Itu kembali datang masanya.

Bagi kami di daerah, perpecahan akibat pilkada bisa menimbulkan rasa permusuhan berkepanjangan.

Bagi yang kalah, mereka cendrung merasa terjajah, sebaliknya si pemenang akan bersikap bagaikan penjajah dan siap menghabisi 'ekstrimis-ekstrimis' yang mengganggu ketenangan dan kesenangan mereka.

#GP-BD/RED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HASIL PEMILU

Pages

SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS