INDIA.GP- Pemerintah federal India telah mengeluarkan sebuah nota yang mencabut status kewarganegaraan dari setidaknya empat juta orang di Negara Bagian Assam.
Nota yang dikeluarkan Badan Nasional Pendaftaran Warga (NRC) itu berisi daftar nama orang-orang yang bisa membuktikan bahwa mereka telah datang ke Assam pada 24 Maret 1971, ketika Bangladesh didirikan.
Pemerintah India berkilah proses ini penting guna mendepak migran ilegal dari Bangladesh.
Karena khawatir akan muncul aksi kekerasan, para penjabat mengatakan tidak ada pendeportasian dalam waktu dekat.
Pemerintah India menegaskan proses banding akan bisa dilakukan warga yang tidak termasuk di dalam daftar. Namun, selagi menempuh proses, jutaan warga tersebut tidak jelas status kewarganegaraannya sampai ada keputusan akhir.
Kasus ini membuat Hasitun Nissa gelisah, seseorang yang BBC temui beberapa hari lalu, sebelum nota resmi dari pemerintah dikeluarkan.
Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk tinggal di luar Assam, dikenal sebagai daerah dataran banjir.
Assam merupakan tempat guru sekolah berumur 47 tahun ini menghabiskan masa kecilnya, saat-saat dimana dia menimba ilmu, tempat dia melangsungkan pernikahan, dan tempat dirinya membesarkan empat orang anak.
Dia sadar status kewarganegaraanya akan dicabut pemerintah, yang bakal diikuti dengan perlucutan hak tanah, haknya memilih, dan kebebasan.
Dia tidak sendiri. Sekitar empat juta warga Bengali - sebuah komunitas minoritas yang punya bahasanya sendiri di Assam - menjadi korban akibat proses birokrasi yang lama dan berbelit.
Pemerintah India di Delhi mengatakan bahwa pendaftaran penduduk harus dilakukan.
Berdasarkan Kesepakatan Assam, sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Rajiv Gandhi pada 1985, mereka yang tidak mampu menunjukkan bukti bahwa mereka datang ke Assam sebelum 24 Maret 1971, maka akan dihapuskan dari daftar pemilih dan dideportasi.
Namun, para aktivis mengatakan bahwa NRC digunakan sebagai dalih serangan kaum nasionalis Hindu dan kelompok garis keras Assam terhadap komunitas Bengali yang sah di negara bagian itu, sebagian besar di antara mereka adalah Muslim.
Seperti halnya Hasitun, banyak orang suku Bengali lainnya hidup di lahan basah sepanjang sungai Brahmaputra, kemudian berpindah ke bagian lainnya apabila tingkat air meningkat.
Jika pun ada, dokumen yang mereka miliki kerap kali tidak akurat.
Pejabat India mengatakan bahwa warga ilegal dari Bangladesh bercampur dalam populasi Bengali, seringkali bersembunyi menggunakan berkas palsu. Hanya dengan pemeriksaan dokumen secara menyeluruh, pemerintah akan mampu mengusir mereka keluar.
Namun, juru kampanye Bengali, Nazrul Ali Ahmed bersikukuh bahwa NRC mengandung unsur agenda tersembunyi lainnya.
"Ini mutlak merupakan sebuah konspirasi untuk melakukan kekejaman," ungkapnya kepada BBC.
"Mereka secara terbuka mengancam untuk mengusir Muslim, dan kejadian yang pernah kita lihat di Myanmar bisa saja terjadi terhadap kita yang berada di sini".
Perbandingan semacam itu diacuhkan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, yang menekankan bahwa NRC merupakan sebuah tugas apolitis dan diawasi institusi Mahkamah Agung Sekuler.
Kemudian setelah berbagai organisasi hak asasi manusia mengemukakan adanya potensi diskriminasi, kepala NRC, Prateek Hajela, mengeluarkan sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa secara hukum dia diwajibkan "tidak melakukan pembedaan berdasarkan agama maupun bahasa" dalam menentukan kependudukan.
Akan tetapi perdana menteri secara terang-terangan memperlihatkan keberpihakannya terhadap migran asal Bangladesh yang beragama Hindu. Mereka, menurutnya, harus dirangkul oleh India.
"Penyusup" lainnya, kata PM Modi kepada kumpulan massa pada 2014, akan dideportasi.
Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinannya bahkan mempertimbangkan RUU yang akan menegaskan hak-hak migran Hindu dalam hukum.
Sebuah lagu yang diposting di Facebook oleh NRC sendiri tidak terlalu memberikan ketenangan bagi mereka yang khawatir akan adanya sikap diskriminatif.
"Sebuah revolusi baru, untuk mengalahkan musuh asing, sedang dimulai. Dengan berani mari kita melindungi tanah air kita," seru seorang penyanyi.
Siddhartha Bhattacharya, menteri hukum Assam dan anggota BJP, tidak meragukan nasib orang-orang yang telah ditolak.
"Setiap orang akan diberi hak untuk membuktikan kewarganegaraan mereka," katanya kepada BBC. "Tetapi jika mereka gagal melakukannya, maka sistem hukum akan tetap berjalan."
Hal ini, katanya, akan membuat mereka diusir dari India.
Saat ini, ucapan semacam itu terlihat sebagai sebuah ancaman yang bertujuan untuk menggalang dukungan umat Hindu untuk BJP menjelang pemilihan umum.
Tidak ada prosedur deportasi yang diberlakukan, dan Bangladesh, yang sudah dibebani oleh krisis Rohingya, tidak menunjukkan tanda-tanda keterbukaan untuk menerima rakit pengungsi baru dari India.
Meskipun demikian, pegiat seperti Samujjal Bhattacharyya secara jelas menyampaikan bahwa sesuatu harus dilakukan.
Organisasinya, Serikat Seluruh Mahasiswa Assam, telah mendorong pengusiran penduduk ilegal dari Bangladesh di Assam - terlepas dari agama mereka - selama beberapa dekade.
Jika deportasi tidak terjadi, katanya, "orang asing ilegal akan mengganggu koridor kekuasaan. Kami tidak siap untuk menjadi warga negara kelas dua."
Hasitun Nissa menganggap serius retorika semacam itu.
Dia mengalami secara langsung bagaimana pihak berwenang berurusan dengan tersangka migran.
Selama dua tahun, suaminya berada di balik terali besi, dan mengakibatkan dirinya menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi keluarga.
"Kami tidak pernah menyakiti umat Hindu, kami dapat hidup berdampingan dengan damai," katanya.
"Tapi saya takut berita buruk akan datang."
Nota yang dikeluarkan Badan Nasional Pendaftaran Warga (NRC) itu berisi daftar nama orang-orang yang bisa membuktikan bahwa mereka telah datang ke Assam pada 24 Maret 1971, ketika Bangladesh didirikan.
Pemerintah India berkilah proses ini penting guna mendepak migran ilegal dari Bangladesh.
Karena khawatir akan muncul aksi kekerasan, para penjabat mengatakan tidak ada pendeportasian dalam waktu dekat.
Pemerintah India menegaskan proses banding akan bisa dilakukan warga yang tidak termasuk di dalam daftar. Namun, selagi menempuh proses, jutaan warga tersebut tidak jelas status kewarganegaraannya sampai ada keputusan akhir.
Kasus ini membuat Hasitun Nissa gelisah, seseorang yang BBC temui beberapa hari lalu, sebelum nota resmi dari pemerintah dikeluarkan.
Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk tinggal di luar Assam, dikenal sebagai daerah dataran banjir.
Assam merupakan tempat guru sekolah berumur 47 tahun ini menghabiskan masa kecilnya, saat-saat dimana dia menimba ilmu, tempat dia melangsungkan pernikahan, dan tempat dirinya membesarkan empat orang anak.
Dia sadar status kewarganegaraanya akan dicabut pemerintah, yang bakal diikuti dengan perlucutan hak tanah, haknya memilih, dan kebebasan.
Dia tidak sendiri. Sekitar empat juta warga Bengali - sebuah komunitas minoritas yang punya bahasanya sendiri di Assam - menjadi korban akibat proses birokrasi yang lama dan berbelit.
Pemerintah India di Delhi mengatakan bahwa pendaftaran penduduk harus dilakukan.
Berdasarkan Kesepakatan Assam, sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Rajiv Gandhi pada 1985, mereka yang tidak mampu menunjukkan bukti bahwa mereka datang ke Assam sebelum 24 Maret 1971, maka akan dihapuskan dari daftar pemilih dan dideportasi.
Namun, para aktivis mengatakan bahwa NRC digunakan sebagai dalih serangan kaum nasionalis Hindu dan kelompok garis keras Assam terhadap komunitas Bengali yang sah di negara bagian itu, sebagian besar di antara mereka adalah Muslim.
Seperti halnya Hasitun, banyak orang suku Bengali lainnya hidup di lahan basah sepanjang sungai Brahmaputra, kemudian berpindah ke bagian lainnya apabila tingkat air meningkat.
Jika pun ada, dokumen yang mereka miliki kerap kali tidak akurat.
Pejabat India mengatakan bahwa warga ilegal dari Bangladesh bercampur dalam populasi Bengali, seringkali bersembunyi menggunakan berkas palsu. Hanya dengan pemeriksaan dokumen secara menyeluruh, pemerintah akan mampu mengusir mereka keluar.
Namun, juru kampanye Bengali, Nazrul Ali Ahmed bersikukuh bahwa NRC mengandung unsur agenda tersembunyi lainnya.
"Ini mutlak merupakan sebuah konspirasi untuk melakukan kekejaman," ungkapnya kepada BBC.
"Mereka secara terbuka mengancam untuk mengusir Muslim, dan kejadian yang pernah kita lihat di Myanmar bisa saja terjadi terhadap kita yang berada di sini".
Perbandingan semacam itu diacuhkan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, yang menekankan bahwa NRC merupakan sebuah tugas apolitis dan diawasi institusi Mahkamah Agung Sekuler.
Kemudian setelah berbagai organisasi hak asasi manusia mengemukakan adanya potensi diskriminasi, kepala NRC, Prateek Hajela, mengeluarkan sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa secara hukum dia diwajibkan "tidak melakukan pembedaan berdasarkan agama maupun bahasa" dalam menentukan kependudukan.
Akan tetapi perdana menteri secara terang-terangan memperlihatkan keberpihakannya terhadap migran asal Bangladesh yang beragama Hindu. Mereka, menurutnya, harus dirangkul oleh India.
"Penyusup" lainnya, kata PM Modi kepada kumpulan massa pada 2014, akan dideportasi.
Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinannya bahkan mempertimbangkan RUU yang akan menegaskan hak-hak migran Hindu dalam hukum.
Sebuah lagu yang diposting di Facebook oleh NRC sendiri tidak terlalu memberikan ketenangan bagi mereka yang khawatir akan adanya sikap diskriminatif.
"Sebuah revolusi baru, untuk mengalahkan musuh asing, sedang dimulai. Dengan berani mari kita melindungi tanah air kita," seru seorang penyanyi.
Siddhartha Bhattacharya, menteri hukum Assam dan anggota BJP, tidak meragukan nasib orang-orang yang telah ditolak.
"Setiap orang akan diberi hak untuk membuktikan kewarganegaraan mereka," katanya kepada BBC. "Tetapi jika mereka gagal melakukannya, maka sistem hukum akan tetap berjalan."
Hal ini, katanya, akan membuat mereka diusir dari India.
Saat ini, ucapan semacam itu terlihat sebagai sebuah ancaman yang bertujuan untuk menggalang dukungan umat Hindu untuk BJP menjelang pemilihan umum.
Tidak ada prosedur deportasi yang diberlakukan, dan Bangladesh, yang sudah dibebani oleh krisis Rohingya, tidak menunjukkan tanda-tanda keterbukaan untuk menerima rakit pengungsi baru dari India.
Meskipun demikian, pegiat seperti Samujjal Bhattacharyya secara jelas menyampaikan bahwa sesuatu harus dilakukan.
Organisasinya, Serikat Seluruh Mahasiswa Assam, telah mendorong pengusiran penduduk ilegal dari Bangladesh di Assam - terlepas dari agama mereka - selama beberapa dekade.
Jika deportasi tidak terjadi, katanya, "orang asing ilegal akan mengganggu koridor kekuasaan. Kami tidak siap untuk menjadi warga negara kelas dua."
Hasitun Nissa menganggap serius retorika semacam itu.
Dia mengalami secara langsung bagaimana pihak berwenang berurusan dengan tersangka migran.
Selama dua tahun, suaminya berada di balik terali besi, dan mengakibatkan dirinya menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi keluarga.
"Kami tidak pernah menyakiti umat Hindu, kami dapat hidup berdampingan dengan damai," katanya.
"Tapi saya takut berita buruk akan datang."
#GP-RED/BBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar