JAKARTA.GP- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah membuat langkah terobosan dalam menanggulangi masalah sarana prasarana (sarpras) pendidikan yang rusak di seluruh Indonesia. “Problemnya cukup kompleks dan meliputi diskursus kewenangan pusat-daerah karena terkait desentralisasi pendidikan, sehingga saya lihat butuh Perpres,” ujar Fikri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Lebih lanjut Fikri mengatakan, Panja Sarana Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) di Komisi X DPR sudah berjalan sejak tahun lalu dan menemukan 75% ruang kelas di seluruh Indonesia itu rusak. “Hasil rekomendasi Panja juga sudah diserahkan ke menteri,” tuturnya.
Hasil rekomendasi Panja Sarpras menyatakan tentang perlunya pemerintah segera menerbitkan regulasi untuk menyelesaikan perbaikan ruang kelas di seluruh Indonesia, sambungnya. “Regulasi diperlukan untuk memperbaiki seluruh ruang kelas yang rusak, yang totalnya mencapai 1,3 juta kelas atau 75 persen dari jumlah ruang kelas di seluruh Indonesia,” papar Politisi Fraksi PKS itu.
Fikri menjelaskan bahwa regulasi tersebut juga perlu memuat teknis penggunaan dan pelaporan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pendidikan agar tepat waktu, prosedural, serta taat hukum.
“Regulasi harus mengatur mengenai kebijakan anggaran, manajemen, pelaksanaan, pengawasan dan sinkronisasi Dapodik dengan kondisi riil di lapangan,” tambahnya.
Ia mengatakan, sumber pendanaan untuk perbaikan ruang kelas rusak selama ini bersumber dari anggaran Kemendikbud dan dana transfer ke daerah berupa DAK Pendidikan. Ironisnya, porsi anggaran pendidikan dalam APBD, baik yang dialokasikan dari pusat maupun dari daerah sendiri, masih jauh dari ketentuan Undang-Undang sebesar 20 persen.
"Menurut data neraca pendidikan daerah yang dikeluarkan Kemendikbud, pada 2016 hanya Provinsi DKI Jakarta yang melampaui ketentuan, yakni anggaran pendidikan sebesar 22 persen dari APBD. Namun 33 provinsi sisanya masih di bawah 10 persen, bahkan hanya 1,4 persen di Papua," terangnya.
Dikatakannya, data dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan juga tak kalah mengejutkan. Anggaran Pendidikan RI di tahun 2017 itu mencapai Rp419 triliun. Rp261 triliunnya untuk transfer ke daerah, sedangkan Rp155 triliunnya digunakan untuk kementerian/lembaga seperti Kemenristekdikti dan Kemenag.
“Namun faktanya, dari Rp261 triliun tadi, 94,6 persennya (atau Rp247 triliun) itu untuk gaji dan tunjangan. Sehingga porsi belanja modal untuk pembangunan, renovasi dan rehabilitasi gedung sekolah hanya tinggal sisanya saja, belum dibagi untuk masing-masing jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK,” urai Fikri.
Maka ada yang menghitung matematis, bahwa untuk mencukupi rehabilitasi 1,3 juta ruang kelas rusak itu butuh waktu 10 tahun. “Ini lama sekali, jangan-jangan keburu rubuh semua, baru dana terkumpul,” ujarnya.
"Pembagian urusan administrasi antara provinsi dan kabupaten/kota juga memperumit masalah. Sebagaimana diketahui, satuan pendidikan setingkat SMA & SMK di bawah administrasi pemerintah provinsi, sedangkan satuan pendidikan setingkat SD & SMP di bawah kabupaten/kota. Setiap wilayah administratif pasti berbeda-beda lagi kebijakannya,” imbuh Fikri.
Oleh karenanya dibutuhkan satu payung hukum yang bersifat lintas koordinatif untuk menata ulang pengelolaan anggaran pendidikan, utamanya rehabilitasi sarana prasarana pendidikan agar merata dan berkesinambungan di seluruh Indonesia, jelas Fikri.
“Masalah Sarpras Pendidikan sudah menjadi masalah nasional yang berimbas pada kualitas masa depan anak bangsa, sudah seharusnya menjadi prioritas Presiden Jokowi saat ini," pungkasnya.
#GP-CE/DEP/SC.
Lebih lanjut Fikri mengatakan, Panja Sarana Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) di Komisi X DPR sudah berjalan sejak tahun lalu dan menemukan 75% ruang kelas di seluruh Indonesia itu rusak. “Hasil rekomendasi Panja juga sudah diserahkan ke menteri,” tuturnya.
Hasil rekomendasi Panja Sarpras menyatakan tentang perlunya pemerintah segera menerbitkan regulasi untuk menyelesaikan perbaikan ruang kelas di seluruh Indonesia, sambungnya. “Regulasi diperlukan untuk memperbaiki seluruh ruang kelas yang rusak, yang totalnya mencapai 1,3 juta kelas atau 75 persen dari jumlah ruang kelas di seluruh Indonesia,” papar Politisi Fraksi PKS itu.
Fikri menjelaskan bahwa regulasi tersebut juga perlu memuat teknis penggunaan dan pelaporan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pendidikan agar tepat waktu, prosedural, serta taat hukum.
“Regulasi harus mengatur mengenai kebijakan anggaran, manajemen, pelaksanaan, pengawasan dan sinkronisasi Dapodik dengan kondisi riil di lapangan,” tambahnya.
Ia mengatakan, sumber pendanaan untuk perbaikan ruang kelas rusak selama ini bersumber dari anggaran Kemendikbud dan dana transfer ke daerah berupa DAK Pendidikan. Ironisnya, porsi anggaran pendidikan dalam APBD, baik yang dialokasikan dari pusat maupun dari daerah sendiri, masih jauh dari ketentuan Undang-Undang sebesar 20 persen.
"Menurut data neraca pendidikan daerah yang dikeluarkan Kemendikbud, pada 2016 hanya Provinsi DKI Jakarta yang melampaui ketentuan, yakni anggaran pendidikan sebesar 22 persen dari APBD. Namun 33 provinsi sisanya masih di bawah 10 persen, bahkan hanya 1,4 persen di Papua," terangnya.
Dikatakannya, data dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan juga tak kalah mengejutkan. Anggaran Pendidikan RI di tahun 2017 itu mencapai Rp419 triliun. Rp261 triliunnya untuk transfer ke daerah, sedangkan Rp155 triliunnya digunakan untuk kementerian/lembaga seperti Kemenristekdikti dan Kemenag.
“Namun faktanya, dari Rp261 triliun tadi, 94,6 persennya (atau Rp247 triliun) itu untuk gaji dan tunjangan. Sehingga porsi belanja modal untuk pembangunan, renovasi dan rehabilitasi gedung sekolah hanya tinggal sisanya saja, belum dibagi untuk masing-masing jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK,” urai Fikri.
Maka ada yang menghitung matematis, bahwa untuk mencukupi rehabilitasi 1,3 juta ruang kelas rusak itu butuh waktu 10 tahun. “Ini lama sekali, jangan-jangan keburu rubuh semua, baru dana terkumpul,” ujarnya.
"Pembagian urusan administrasi antara provinsi dan kabupaten/kota juga memperumit masalah. Sebagaimana diketahui, satuan pendidikan setingkat SMA & SMK di bawah administrasi pemerintah provinsi, sedangkan satuan pendidikan setingkat SD & SMP di bawah kabupaten/kota. Setiap wilayah administratif pasti berbeda-beda lagi kebijakannya,” imbuh Fikri.
Oleh karenanya dibutuhkan satu payung hukum yang bersifat lintas koordinatif untuk menata ulang pengelolaan anggaran pendidikan, utamanya rehabilitasi sarana prasarana pendidikan agar merata dan berkesinambungan di seluruh Indonesia, jelas Fikri.
“Masalah Sarpras Pendidikan sudah menjadi masalah nasional yang berimbas pada kualitas masa depan anak bangsa, sudah seharusnya menjadi prioritas Presiden Jokowi saat ini," pungkasnya.
#GP-CE/DEP/SC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar