JAKARTA.GP- Konsep cuti petahana dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) memiliki perbedaan fundamental dengan cuti petahana dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Jika di Pilkada, petahana harus mengambil cuti sepanjang masa kampanye, namun cuti pada petahana di Pilpres hanya dilakukan pada hari dan jam tertentu disaat yang bersangkutan kampanye saja.
Demikian hal itu disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Aturan Capres Cuti, Fleksibel atau Permanen, Siapa Untung?’ yang digelar di Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2018).
“Cuti hanya dilakukan apabila Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat sedang mengikuti kembali pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Cuti menjadi kewajiban untuk membuat batas yang jelas antara status sebagai seorang Presiden atau Wakil Presiden, sekaligus sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden,” papar Hinca.
Hinca menyampaikan, dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sangat jelas disampaikan bahwa bagi Presiden dan juga Wakil Presiden petahana yang akan melaksanakan kampanye diharuskan untuk mengambil cuti. Hal itu dicantumkan dalam Pasal 281 ayat 1 yang berbunyi, pertama, kampanye yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota harus memenuhi ketentuan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; Kedua, menjalani cuti diluar tanggungan negara.
“Presiden Jokowi tidak perlu takut dalam menghadapi cutinya, karena kampanye permanen telah berlangsung sejak ia terpilih kemarin. Kecenderungan komunikasi politik masa kini, kampanye kerap dilakukan dengan basis marketing politik. Sejak Jokowi terpilih menduduki jabatan politik melalui Pemilu, yakni sebagai Presiden tahun 2014 yang lalu, dia selalu menerapkan prinsip-prinsip marketing politik dalam gayanya memerintah. Ia juga membuat kebijakan dan berusaha menampilkan kesan baru dalam berpolitik,” ujarnya.
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga mengatakan bahwa secara Hukum Tata Negara tegas dinyatakan, tidak boleh sedetik pun kosong jabatan Presiden. “Kampanye dan Pemilu bukanlah keadaan darurat, oleh karenanya jabatan Pelaksana tugas (Plt) Presiden tidak diperlukan pada saat Pemilu,” tandas Hinca.
Demikian hal itu disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Aturan Capres Cuti, Fleksibel atau Permanen, Siapa Untung?’ yang digelar di Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2018).
“Cuti hanya dilakukan apabila Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat sedang mengikuti kembali pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Cuti menjadi kewajiban untuk membuat batas yang jelas antara status sebagai seorang Presiden atau Wakil Presiden, sekaligus sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden,” papar Hinca.
Hinca menyampaikan, dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 sangat jelas disampaikan bahwa bagi Presiden dan juga Wakil Presiden petahana yang akan melaksanakan kampanye diharuskan untuk mengambil cuti. Hal itu dicantumkan dalam Pasal 281 ayat 1 yang berbunyi, pertama, kampanye yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota harus memenuhi ketentuan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; Kedua, menjalani cuti diluar tanggungan negara.
“Presiden Jokowi tidak perlu takut dalam menghadapi cutinya, karena kampanye permanen telah berlangsung sejak ia terpilih kemarin. Kecenderungan komunikasi politik masa kini, kampanye kerap dilakukan dengan basis marketing politik. Sejak Jokowi terpilih menduduki jabatan politik melalui Pemilu, yakni sebagai Presiden tahun 2014 yang lalu, dia selalu menerapkan prinsip-prinsip marketing politik dalam gayanya memerintah. Ia juga membuat kebijakan dan berusaha menampilkan kesan baru dalam berpolitik,” ujarnya.
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga mengatakan bahwa secara Hukum Tata Negara tegas dinyatakan, tidak boleh sedetik pun kosong jabatan Presiden. “Kampanye dan Pemilu bukanlah keadaan darurat, oleh karenanya jabatan Pelaksana tugas (Plt) Presiden tidak diperlukan pada saat Pemilu,” tandas Hinca.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi V DPR RI Syarif Abdullah Alkadrie menuturkan, berkaitan apakah Presiden harus cuti atau tidak, dan perlu ada Plt atau tidak, saat mengikuti kampanye Pilpres, maka hal itu harus ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan yang ada.
“Saya melihat, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Cuti Presiden tidak bisa disamakan dengan cuti Kepala Daerah, karena kita harus melihatnya dari sudut kepentingan negara,” ucap Syarif.
Seperti dikabarkan, Komisi Pemilihan Umum DPR, Badan Pengawas Pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyepakati calon Presiden petahana harus melakukan cuti saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Mekanisme yang dilakukan adalah pihak pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP) dan KPU akan membuat peraturan KPU (PKPU) untuk mengatur cuti tersebut.
Presiden ataupun Wapres petahana yang menjadi calon peserta pilpres tetap mendapatkan kekuasaannya secara utuh. Saat cuti Capres dan Wapres petahana tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas dasar yang melekat pada presiden dan wapres yakni seperti masalah pengamanan.
“Saya melihat, Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Cuti Presiden tidak bisa disamakan dengan cuti Kepala Daerah, karena kita harus melihatnya dari sudut kepentingan negara,” ucap Syarif.
Seperti dikabarkan, Komisi Pemilihan Umum DPR, Badan Pengawas Pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menyepakati calon Presiden petahana harus melakukan cuti saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Mekanisme yang dilakukan adalah pihak pemerintah akan membuat peraturan pemerintah (PP) dan KPU akan membuat peraturan KPU (PKPU) untuk mengatur cuti tersebut.
Presiden ataupun Wapres petahana yang menjadi calon peserta pilpres tetap mendapatkan kekuasaannya secara utuh. Saat cuti Capres dan Wapres petahana tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara, kecuali fasilitas dasar yang melekat pada presiden dan wapres yakni seperti masalah pengamanan.
# GP-003 | Parlementaria/dep/sf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar