|
JAKARTA.GP- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyinggung soal perbedaan pendapat di antara para dokter tentang mekanisme dan sistem kedokteran lama yang sudah baku. Perdebatan tersebut berkenaan dengan praktik yang dilakukan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Mayjen TNI dr. Terawan Agus Putranto, yang telah lama menerapkan metode pengobatan Digital Substraction Angiography (DSA) atau yang ramai dikatakan sebagai ‘cuci otak’ dalam manangani pasien stroke.
“Komisi IX sedang banyak isu. Saya mohon diperhatikan betul adanya konflik antara mekanisme dan sistem kedokteran yang lama yang baku, ada asosiasinya namanya IDI. Ada asosiasi-asosiasi keahlian teknisnya, seperti ahli bedah, ahli syaraf, yang kebutulan ini menjadi besar karena konfliknya itu dengan seorang dokter Kepala RSPAD, Dokter Kepresidenan, yang setiap hari ngurusin kesehatannya presiden dan elit-elit tertinggi di republik ini,” papar Fahri usai melantik Pimpinan Komisi IX DPR RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Fahri menilai perdebatan tersebut mengandung hikmah, agar publik mengerti, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di dunia internasional, bahwa Indonesia menjaga disiplin praktik kedokteran yang benar.
“Banyak hikmahnya supaya publik tidak saja di Indonesia, tapi di dunia internasional tahu, bahwa Indonesia disiplin menjaga tradisi praktik kedokteran yang benar. Sehingga Indonesia ini bisa menjadi tujuan pengobatan tidak saja di Indonesia, tapi di seluruh dunia, bahwa Indonesia ini berkelas metode praktik kedokterannya,” jelasnya.
Watua Korbid Kesra ini mengungkapkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki mazhab pengobatan yang baku, dan memiliki tahap-tahap uji klinis. Sebelum praktik dokter diberikan kepada masyarakat, harus melalui serangkaian uji klinis yang ketat. Hal inilah yang menjadi perbedaan pendapat antara dr. Terawan dengan IDI.
“Mazhab pengobatan yang menurut IDI itu dianggap belum baku dan belum melalui tahapan-tahapan uji klinis yang baku. Sebelum tahapan itu dijual ke masyarakat harus melalui tahapan yang sangat detail, agar tidak dijadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan,” urai Fahri.
Menurut Fahri, praktik kedokteran kepada pasien dengan uji klinis itu harus dipisahkan, karena ini dua hal yang berbeda. Karena selama ini banyak praktik kedokteran yang sudah bayar mahal lalu sukses terus diekspos kepada publik, tapi sayangnya kalau gagal tidak berani diekpos.
Fahri menuturkan, Komisi IX memiliki tanggung jawab memfasilitasi dan menjadi penengah perbedaan pendapat antara IDI dengan dr. Terawan. “Ini pekerjaan Komisi IX, memfasilitasi perdebatan dan dialog, sehingga lahirlah kesimpulan yang baik, yang akan membuat dunia kedokteran dan pengobatan kita secara umum punya kredibilitas internasional, dan menjadi tujuan dari pengobatan umat manusia di seluruh dunia. Tentu ini akan memperbaiki ekonomi kita dan membangkitkan dunai kesehatan dan kedokteran kita,” harap Fahri.
# GP-003 | Palementaria/eko/sf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar